HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wakil Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), KH Zainut Tauhid Sa’adi memberikan respons atas hebohnya shalat idulfitri yang dilakukan oleh Jemaah Aolia di Yogyakarta pada hari Jumat (5/4) lalu. Yang artinya, mereka melaksanakan hari raya idulfitri jauh dari penetapan yang ditentukan oleh pemerintah maupun ormas besar lainnya.

Ia pun menyarankan agar masyarakat lebih bijak lagi dalam memilih guru agama dan menentukan sosok panutan dalam menjalankan syariat agama Islam.

“Saya mengimbau kepada umat Islam untuk selektif dalam memilih guru agama,” kata Zainut Tauhid dalam keterangannya, Selasa (9/4) seperti dikutip Holopis.com.

Pemilihan guru agama ini menurutnya adalah sesuatu yang sangat penting, karena masalah agama adalah masalah yang sangat fundamental.

“Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak umat Islam yang salah dalam memilih guru agama, sehingga mereka mengikuti ajaran agama yang tidak ada tuntunannya dalam syariat,” ujarnya.

Bagi mantan Wakil Menteri Agama tersebut, apa yang diajarkan oleh jamaah Aolia jelas adalah sesuatu yang tidak berdasar dengan syariat agama. Terlebih dalam mendengar penjelasan pendiri jamaah tarekat tersebut, yakni Raden Ibnu Hajar Pranolo alias Mbah Benu mengklaim telah menelepon Allah SWT sehingga tanggal 5 April 2024 ditetapkan sebagai Hari Raya Idulfitri 1445 H.

“Meskipun ajaran Jemaah Aolia tidak dikatagorikan sebagai aliran sesat. tetapi ajaran tersebut menyelisihi pendapat ulama mayoritas (mainstream) yang memiliki otoritas keilmuan dan keulamaan, sehingga ajaran tersebut bisa disebut menyimpang,” ujarnya.

Dijelasakan Zainut Tauhid, bahwa ketetapan pemimpin Jemaah Aolia dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal tidak menggunakan dalil atau dasar hukum yang bisa dipertanggung jawabkan. Keyakinan jemaah Aolia tersebut tidak ada landasan syariat dan fiqih-nya sama sekali.

“Kepercayaan yang dipegang oleh pemimpin jemaah Aolia tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam,” tegasnya.

Pun demikian, Zainut Tauhid tetap mengimbau kepada seluruh masyarakat khususnya umat Islam agar tidak mudah menghakimi dan melakukan reaksi yang berlebihan atas apa yang terjadi di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta itu.

“Saya setuju bahwa kita tidak boleh menghujat atau mengolok-olok mereka, bisa jadi mereka berbuat seperti itu karena ketidak-tahuan atau karena kebodohan mereka dalam beragama,” tuturnya.

Oleh sebab itu, ia pun menegaskan bahwa MUI memiliki peran penting dalam meluruskan perspektif keliru itu.