HOLOPIS.COM, JAKARTA – Di dunia Islam, penetapan awal bulan Syawal memiliki signifikansi penting karena menandai akhir dari bulan Ramadan dan dimulainya perayaan Idul Fitri, atau biasa dikenal sebagai Hari Raya.
Proses penentuan ini tidak semata bergantung pada kalkulasi matematis, tetapi juga mengikuti teori falakiyah (astronomi Islam) serta dasar-dasar yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis.
Teori Falakiyah dalam Penetapan Awal Bulan Syawal
Teori falakiyah merupakan metode penentuan waktu dalam Islam yang mengacu pada gerakan bulan dan matahari. Penentuan awal bulan Syawal didasarkan pada hilal (sabit) yang menjadi ciri khas bulan baru. Hilal Syawal harus dapat terlihat secara langsung setelah matahari terbenam pada akhir hari ke-29 Ramadan. Jika hilal terlihat, maka esok hari akan menjadi awal bulan Syawal.
Proses pengamatan hilal ini dilakukan oleh ulama dan pihak berwenang setiap bulan Ramadan, dan laporan tentang pengamatan hilal tersebut akan menjadi dasar penetapan awal bulan Syawal.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama menjadi bagian dari anggota MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Di mana semua kementerian agama dan sejenisnya di negara anggota memiliki kesepakatan tentang penentuan awal bulan.
Penerapan kriteria baru MABIMS berdampak pada perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah. Dilansir dari laman resmi Kemenag, selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Namun berdasarkan pada hasil kesepakatan MABIMS pada tahun 2021 kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.
Dasar Penetapan dalam Al-Quran dan Hadis
1. Al-Quran:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2:185):
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Bulan Ramadan itu bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan tentang petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadan, yang menunjukkan pentingnya pengetahuan tentang awal dan akhir bulan Ramadan.
2. Hadis:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
Artinya:
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menutupimu, maka sempurnakanlah jumlah bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari.”
Hadis ini menegaskan pentingnya pengamatan langsung terhadap hilal sebagai dasar penentuan awal bulan Syawal.
Dengan demikian, penentuan awal bulan Syawal 1445 H tidak hanya didasarkan pada perhitungan matematis semata, tetapi juga memperhitungkan teori falakiyah serta dasar-dasar yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis sebagai pedoman utama umat Islam dalam menentukan awal bulan Syawal.
Rencananya, Kementerian Agama akan menggelar rukyatul hilal dan disusul dengan sidang isbat penentuan 1 Syawal 1445 H pada hari Selasa, 9 April 2024 mendatang. Sidang akan digelar di kantor Kementerian Agama dengan melibatkan semua unsur, baik ormas Islam, maupun lembaga-lembaga terkait.