HOLOPIS.COM, JAKARTA – BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mengungkapkan bahwa angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis pada tahun 2023 yang lalu.

Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengungkapkan, angka pernikahan di tahun lalu bahkan memecahkan rekor terendah dalam satu dekade terakhir dengan hanya 1,58 juta pernikahan.

“Angka ini jauh menurun dibandingkan puncaknya pada tahun 2013 yang mencapai 2,21 juta pernikahan,” kata Hasto dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (11/3).

Hasto kemudian mengungkapkan beberapa faktor termasuk tingkat pendidikan yang semakin tinggi ternyata menjadi salah satu penyebab usia menikah mundur.

“Semakin kaya, pendidikan semakin tinggi dan bermukim di perkotaan, berkolerasi erat dengan median usia menikah yang semakin mundur,” terangnya.

Dari laporan kinerja Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) BKKBN, median usia kawin pertama (MUKP) perempuan juga semakin mundur dalam rentang waktu tahun 2020-2023.

Adapun target MUKP pada tahun 2020 yakni usia 21,9 tahun, dengan realisasi yakni 20,7 tahun sebesar 94,5 persen. Sedangkan pada tahun 2021, target MUKP yakni 22 tahun, dengan realisasi 20,71 tahun sebesar 94,1 persen. Kemudian, pada tahun 2022, target MUKP yakni 22 tahun, sedangkan realisasinya yakni 21 tahun sebesar 95,5 persen.

Dalam rentang waktu tiga tahun tersebut, realisasi MUKP belum pernah mencapai 100 persen, yang artinya target perempuan menikah pertama sesuai saran BKKBN belum tercapai maksimal.

Namun, pada tahun 2023, dari target MUKP 22,1 tahun, telah tercapai 22,3 tahun, atau 100, 90 persen, yang artinya, sebagian perempuan menikah untuk pertama kali di usia 22,3 tahun pada tahun 2023, setelah sebelumnya selama tiga tahun terakhir, usia menikah perempuan rata-rata pada 20-21 tahun.

Dengan adanya penurunan angka pernikahan tersebut, Hasto mengungkapkan pengaruhnya kepada bonus demografi di Indonesia.

“Ini berpengaruh terhadap bonus demografi, angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR), laju pertumbuhan penduduk, angka pendapatan kelas menengah atau middle income trap, dan berpengaruh juga terhadap upaya Indonesia menjadi empat negara besar di dunia,” jelasnya.

Untuk itu, Hasto menegaskan bahwa BKKBN akan memetakan berapa persentase pernikahan yang menurun dari usia menikah yang datanya ada di masing-masing wilayah di Indonesia, dan melihat wilayah mana yang persentase pernikahannya yang semakin besar atau menurun.

“Kalau di daerah itu TFR-nya tinggi, pernikahannya menurun, ya kita syukuri, artinya mendukung agar TFR yang tinggi bisa menurun, karena penduduk tumbuh seimbang, supaya beban ekonomi juga tidak berat. Tetapi kalau TFR-nya sudah rendah, ya akan kita upayakan agar angka pernikahan tidak turun,” tutupnya.