HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi mengatakan bahwa Pileg memiliki potensi kecurangan yang lebih besar ketimbang Pilpres.
Sebab, proses penghitungan suara Pileg biasanya dilakukan pada malam hingga dini hari setelah proses penghitungan suara Pilpres.
Hal ini sesuai dengan Pasal 52 Ayat 2 PKPU Nomor 25 Tahun 2023 yang mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Pada siang hingga sore hari ketika penghitungan suara Pilpres dilakukan, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi, menyaksikan dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan,” kata R Haidar Alwi, Senin (26/2) malam seperti dikutip Holopis.com.
“Namun pada malam hingga dini hari saat penghitungan suara Pileg dilakukan, TPS makin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan. Akibatnya dapat membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu. Terlebih bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi,” jelas R Haidar Alwi.
Salah satu bentuk kecurangan Pileg yang sering terjadi adalah pencurian atau jual beli suara. Baik antar-caleg maupun antar-partai. Tidak mengherankan bila di satu sisi ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara. Sedangkan di sisi lain ada caleg kaya raya atau caleg anak pejabat yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.
“Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan,” imbuh R Haidar Alwi.
Oleh karena itu, menurutnya, jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Karena dugaan kecurangan pemilu seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik.
Kalaupun dipaksakan ditarik ke ranah politik melalui hak angket di DPR, pelaksanaannya harus dijalankan dalam kerangka representasi rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang Undang MD3.
“Sekiranya hak angket hanya akan merepresentasikan sebagian kecil rakyat yang ada pada posisi kontra hasil pemilu, dikhawatirkan akan timbul gelombang keributan yang lebih besar dari kalangan rakyat yang pro terhadap hasil pemilu. Jangan sampai rakyat dikorbankan demi hasrat elit politik yang haus kekuasaan,” papar R Haidar Alwi.
Hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) merepresentasikan 83,6 persen rakyat puas terhadap penyelenggaran pemilu dan 76,4 persen menyatakan pemilu telah berlangsung jurdil.
“Artinya, kalangan rakyat yang dijadikan representasi hak angket hanya sebagian kecil saja. Meskipun partai-partai pengusul jumlah kursinya di DPR lebih besar,” ungkap R Haidar Alwi.
Selain itu, hak angket sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR mengenai ada tidaknya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pemilu, juga dinilai tidak tepat jika ditujukan hanya untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres tanpa menyertakan Pileg.
“Bilamana hak angket dilakukan secara parsial, Pilpres saja misalnya, maka motifnya semakin patut untuk kita pertanyakan. Keduanya sepaket dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya,” pungkas R Haidar Alwi.
Menyambut puncak kemeriahan akhir tahun 2024, MNCTV menghadirkan Road To Kilau Raya 'Viral 2024' untuk…
Menteri Agama RI Nasaruddin Umar mengkonfirmasi bahwa Presiden Prabowo Subianto bakal menghadiri kegiatan perayaan Natal…
Arema FC berhasil mengandaskan perlawanan Semen Padang pada lanjutan Liga 1 musim 2024/2025, dengan skor…
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harus mengakhiri perdagangan pasca libur Natal 2024, Jumat (27/12), dengan…
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan menggelar evaluasi pengamanan Natal 2024,…
Video viral kecelakaan yang melibatkan dua kendaraan bermotor di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Bahkan, salah…