Ilmu sejarah membutuhkan beragam referensi, pengetahuan yang luas, serta kemampuan penalaran dan ketelitian yang tinggi untuk mencapai kebenaran dan menghindari kesalahan.
Ini dikarenakan sejarah, jika hanya berdasarkan pada pengutipan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip budaya, aturan politik, karakteristik peradaban, kondisi sosial masyarakat, dan aspek spiritual, serta jika tidak dihubungkan dengan hal-hal yang dapat diamati dan dipahami, jika masa kini tidak dianalogikan dengan masa lalu, maka sejarah semacam itu rentan terhadap kesalahan dan jauh dari kebenaran.
Prinsip-prinsip ini berperan dalam mengevaluasi suatu informasi untuk menentukan apakah dapat dianggap sebagai fakta atau tidak. Selanjutnya, informasi tersebut disusun menjadi sebuah narasi sejarah dengan langkah yang tepat, karena sejarawan, ahli tafsir, dan ulama mungkin saja memberikan catatan yang tidak akurat dalam menggambarkan suatu peristiwa.
Hal ini disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk hanya mengutip tanpa menyaring mana yang benar dan mana yang salah, tanpa menilai dengan standar yang benar, tanpa membandingkan dengan peristiwa serupa, tanpa mempertimbangkan hikmah, karakteristik alam, dan tanpa menggunakan pemikiran rasional serta wawasan yang tajam.
Isra Mi’raj, meskipun di luar batas pemahaman rasional manusia, adalah suatu kejadian yang benar-benar terjadi dan dialami secara pribadi oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu dari banyak bukti kenabiannya.
Ketidakpercayaan terhadap kejadian Isra Mi’raj dianggap sebagai kehilangan iman. Hal ini karena kejadian tersebut merupakan bagian dari keyakinan kita terhadap Al-Qur’an. Seperti yang diuraikan dalam Surat Al-Isra’ dan Surat An-Najm ayat 5-18, bahwa Isra Mi’raj adalah suatu peristiwa yang nyata.