Yusril : Presiden Boleh Kampanye dan Berpihak dalam Pemilu 2024


Oleh : Muhammad Ibnu Idris

HOLOPIS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Yusril Ihza Mahendra, mengatakan berdasarkan undang-undang Pemilu sekarang ini yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, bahwa Presiden dan Wakil Presiden memang dibolehkan untuk berkampanye Pemilu, baik Pilpres maupun Pileg.

"Ketentuan Pasal 280 UU Pemilu merinci pejabat-pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain ; Ketua dan Para Hakim Agung, Ketua dan Para Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan seterusnya. Presiden dan Wakil Presiden serta para Menteri tidak termasuk dalam pejabat negara yang dilarang kampanye," kata Yusril dalam keterangan persnya yang dikutip Holopis.com, Kamis (25/1).

Bahkan kata Yusril, di dalam Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan ; "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye".

Kemudian di dalam Pasal 281 UU, mengatur syarat-syarat pejabat negara dan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkampanye antara lain ; harus cuti di luar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.

"Jadi Presiden dan Wakil Presiden boleh kampanye, baik mengampanyekan diri mereka sendiri kalau menjadi petahana, maupun mengampanyekan orang lain yang menjadi Capres dan Cawapres. Boleh juga kampanye untuk parpol peserta Pemilu tertentu," terangnya.

Bagi Yusril, pasal-pasal tentang Presiden yang akan berkampanye itu juga mengatur pengamanan dan fasilitas kesehatan Presiden dan Wakil Presiden yang berkampanye. Ketentuan lebih lanjut bagi Presiden dan Wakil Presiden yang akan kampanye diatur oleh Peraturan KPU.

Lantas bagaimana dengan pemihakan?. Yusril juga menyatakan bahwa keberpihakan seorang Presiden terhadap kandidat tertentu juga dibolehkan. Sebab, kampanye jelas menyatakan keberpihakannya.

"Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu yang dikampanyekannya. Masa orang kampanye tidak memihak," tukasnya.

Di dalam UU Pemilu, tidak ada diksi yang menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Menurutnya, keberpihakan Joko Widodo yang merupakan Presiden Republik Indonesia adalah bagian dari konsekuensi dari sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia, di mana tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45.

"Keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955. Waktu itu kita menganut sistem Parlementer. Sebagai Kepala Negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan. Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai Kepala Pemerintahan yang ada pada Perdana Menteri Burhanudin Harahap waktu itu. Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955," papar Yusril.

Jadi kalau ada pihak-pihak yang menghendaki Presiden harus netral tidak boleh kampanye dan memihak, maka jabatan Presiden mestinya hanya 1 periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua. Dan itu kata Yusril, memerlukan amandemen UUD 45.

Begitu pula dengan UU Pemilu, harus diubah jika memang Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Persoalan kampanye dan keberpihakan, Yusril menekankan bahwa aturan main sekarang ini tidak melarangnya, maka menurut dia Jokowi tidak salah jika dia mengatakan Presiden boleh kampanye dan memihak.

Lantas bagaimana pendapat Yusil tentang adanya pihak-pihak yang mengatakan "tidak etis" jika Presiden melakukan kampanye dan memihak dalam Pemilu. Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan undang-undang Pemilu. Akan tetapi jika "etis" tersebut dimaknai sebagai "code of conduct" dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Penegakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Peradi.

Masalahnya kata Yusril, sampai dengan sekarang ini kode etik sebagai "code of conduct" jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang belum ada. Oleh sebab itu, jika seseorang berbicara etis dan tidak etis, umumnya berbicara sesuatu menurut ukurannya sendiri.

"Bahkan orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja, sudah dianggap 'tidak etis'. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing-masing," pungkas politisi Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

Tampilan Utama
/