Begitu pula dengan UU Pemilu, harus diubah jika memang Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Persoalan kampanye dan keberpihakan, Yusril menekankan bahwa aturan main sekarang ini tidak melarangnya, maka menurut dia Jokowi tidak salah jika dia mengatakan Presiden boleh kampanye dan memihak.
Lantas bagaimana pendapat Yusil tentang adanya pihak-pihak yang mengatakan “tidak etis” jika Presiden melakukan kampanye dan memihak dalam Pemilu. Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan undang-undang Pemilu. Akan tetapi jika “etis” tersebut dimaknai sebagai “code of conduct” dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Penegakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Peradi.
Masalahnya kata Yusril, sampai dengan sekarang ini kode etik sebagai “code of conduct” jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang belum ada. Oleh sebab itu, jika seseorang berbicara etis dan tidak etis, umumnya berbicara sesuatu menurut ukurannya sendiri.
“Bahkan orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja, sudah dianggap ‘tidak etis’. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing-masing,” pungkas politisi Partai Bulan Bintang (PBB) ini.