HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) RI Chatib Basri mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tidak mengabaikan nasib masyarakat kelas menengah. Hal itu disampaikannya usai bertemu dengan mantan Presiden Chile Veronica Michelle Bachelet pada September 2023 lalu.
Dia mengatakan, Bachelet saat itu bercerita pada dirinya, bahwa Chile merupakan sebuah negara di Amerika Latin yang mempunyai kinerja perekonomian terbaik, dengan pendapatan per kapitanya yang tertinggi di Amerika Latin.
“Chile adalah sebuah negara dengan human development index terbaik di Latin Amerika. Bahkan Chile mampu menurunkan tingkat kemiskinan dari 53% menjadi 6%, sangat mengesankan,” kata Chatib sebagaimana dikutip Holopis.com dari unggahan video di akun Instagram miliknya, Sabtu (13/1).
Namun ironisnya, ditengah kinerja ekonomi yang hebat, terjadi hal yang tidak terduga yang mambuat ekonomi Chile seketika berantakan. Dimana pada Oktober 2019, terjadi unjuk rasa besar, yang nyaris menimbulkan revolusi. Hal itu terjadi lantaran terabaikannya masyarakat kelas menengah.
Fenomena ini dikenal sebagai the Chilean Paradox. Sebastian Edwards, dari UCLA menyebut salah satu alasan penjelasnya adalah terabaikannya kelas menengah,” tutur Menkeu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
Menurut Chatib, apa yang dialami oleh Chile ini memiliki relevansi dengan kondisi Indonesia. Dia lantas menjelaskan, bahwa pemerintah Indonesia perlu memikirkan perluasan perlindungan sosial untuk kelas menengah.
Dia juga mengingatkan, bahwa pemerintah Indonesia perlu juga memikirkan perbaikan jasa publik, tata kelola pemerintahan yang bersih dan juga memperhatikan soal keadilan.
“Saya menyebut kelas ini sebagai “Professional complainers”. Issue kelas menengah ini akan semakin relevan untuk Indonesia,” imbuhnya.
Dia juga menjabarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Dartanto dan Can dari Universitas Indonesia (2023). Sutidi itu menunjukkan bagaimana dalam periode 2019-2022 manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus pada 20% persen kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas.
Namun manfaat kebijakan tidak dirasakan oleh kelompok kelas menengah (persentil 40-80%). Bahkan, kata Chatib, kelompok persentil 60%-80% justru mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
“Itu sebebanya perlunya dipikirkan perluasan perlindungan sosial untuk kelas menengah, dan perbaikan jasa publik, tata kelola pemerintahan yang bersih dan juga soal keadilan,” pungkas Chatib.