HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua DPR Puan Maharani ikut menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menuduh bahwa Presiden Jokowi telah melakukan intervensi dalam penanganan kasus korupsi e-KTP.
Dimana Puan pun langsung menyinggung mengenai wacana hak interplasi yang akan diajukan ke Presiden Jokowi dengan landasan pernyataan dari Agus Rahardjo. Ketua DPP PDIP itu berkilah bahwa pihaknya sebatas mengikuti proses hukum yang ada.
“Kami menjunjung supremasi hukum yang ada. Jadi yang kami kedepankan adalah bagaimana menjalankan supremasi hukum itu secara dengan baik-baik dan benar,” kata Puan Maharani dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Selasa (5/12).
Puan kemudian bersikap pada posisi akan mengikuti sikap dari anggota dewan mayoritas dalam menentukan terlaksana atau tidaknya hak interplasi tersebut.
“Bahwa kemudian ada kemudian nantinya ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu, itu merupakan hak anggota,” tukasnya.
Saat ini pun menurut putri dari Megawati Soekarnoputri itu, pihaknya masih terus berhitung apabila kemudian hak interplasi bisa berlanjut.
“Namun kami juga akan mencermati apakah hal itu diperlukan atau tidak,” imbuhnya.
Sebagai informasi, nama Puan Maharani pun pernah terseret dalam kasus korupsi e-KTP termasuk juga nama capres Ganjar Pranowo. Terdakwa kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) Setya Novanto menyebut ada uang hasil korupsi yang mengalir kepada Puan Maharani dan Pramono Anung. Menurut Novanto, keduanya masing-masing mendapatkan 500.000 dollar Amerika Serikat.
“Bu Puan Maharani Ketua Fraksi PDI-P dan Pramono adalah 500.000. Itu keterangan Made Oka,” kata Setya Novanto, Kamis (22/3/2018).
Sebelumnya, Agus Rahardjo menyebut pernah dipanggil Presiden sendirian ke Istana Negara. Di sana kata Agus, Presiden Joko Widodo ditemani oleh Menteri Sekretariat Negara yakni Pratikno.
“Saya dipanggil sendirian oleh Presiden, presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno,” kata Agus.
Dalam statemennya, Agus menyampaikan Jokowi langsung membentak dirinya persis saat masuk ke dalam ruangan.
“Begitu saya masuk, Presiden sudah marah, menginginkan hentikan kasus Pak Setnov, ketua DPR waktu itu dalam kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” ucapnya.
Karena dirinya tidak menggubris permintaan Presiden pada waktu itu, Agus menyebut tiba-tiba muncul revisi UU KPK yang di dalamnya ada perintah penghentian penyidikan atau SP3.
“Karena KPK tidak punya SP3, tidak mungkin (sprindik) saya berhentikan, saya batalkan,” terangnya.
“Makanya saya nggak saya perhatikan, saya jalan terus. Tapi akhirnya kan dilakukan revisi UU. Intinya revisi UU itu kan SP3 menjadi ada, kemudian (KPK) di bawah Presiden. Apa pada waktu itu Presiden merasa bahwa ini Ketua KPK dibentak Presiden kok nggak mau,” imbuhnya.