HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati menyoroti situasi global saat ini yang menurutnya masih dipenuhi dengan ketidakpastian.
Melemahnya perekonomian negara maju seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), serta masalah geopolitik dan perubahan iklim masih menjadi tantangan yang harus di hadapi oleh seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Kendati demikian, Bendahara negara itu meyakini perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh di angka 5,0 persen pada tahun 2023 ini. Angka ini menurutnya, masih menjadi yang tertinggi dari negara-negara anggota ASEAN maupun G20.
“Indonesia masih diperkirakan tumbuh di 5,0 persen, dan ini termasuk yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain di ASEAN dan di G20,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi November 2023, seperti dikutip Holopis.com, Minggu (26/11).
Adapun salah satu indikator yang membuat prospek ekonomi Indonesia masih baik hingga saat ini menurut Sri Mulyani, yakni masih ekspansifnya aktivitas sektor manufaktur. Hal itu tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang sebesar 51,5 pada Oktober 2023.
Dengan demikian, Indonesia masuk dalam jajaran 30,4 persen negara G20 dan ASEAN yang mencatat PMI Manufaktur ekspansif, berssma Filipina, Singapura, India, Amerika Serikat (AS), Meksiko, dan Rusia.
Sementara 69,6 persen negara yang mencatatkan PMI Manufaktur kontraksi, yakni Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Vietnam, Kanada, Brasil, Afrika Selatan, Turki, dan Australia.
“Ini artinya sektor riil terutama manufaktur masih mengalami tekanan yang masih berlanjut dari mulai pandemi hingga sekarang,” katanya.
Lebih lanjut, Menkeu perempuan pertama di Indonesia itu mengatakan, bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen itu sejalan dengan proyeksi yang dikeluarkan berbagai lembaga internasional pada tahun 2023.
Hal ini membawa Indonesia menduduki peringkat ketiga negara dengan prospek pertumbuhan ekonomi terbaik di ASEAN dan G20, setelah India yang sebesar 6,3 persen dan Filipina sebesar 5,3 persen.
Namun demikian, dirinya mengingatkan masih terdapat risiko penurunan untuk proyeksi pertumbuhan tersebut yang berasal dari berbagai faktor, yakni inflasi yang bertahan tinggi, pelemahan ekonomi Tiongkok, volatilitas harga komoditas, serta eskalasi tensi global (perang di Palestina).
Adapun risiko lainnya seperti fragmentasi geoekonomi, kejutan akibat perubahan iklim, terbatasnya ruang kebijakan global, hingga peningkatan risiko kesulitan utang.
“Inflasi global meskipun sudah mulai menurun, masih relatif tinggi dibandingkan level histori dalam satu dekade terakhir,” tukas Sri Mulyani.