“Waktu mau pindah ke sini itu mikir mikir. Bisa ndak, bisa ndak, gitu,” imbuhnya.
Pak Gito mengingat betul saran-saran dari para mentor dosen UGM kepada dirinya. Bagian kecil yang selalu ia terus ingat adalah bahwa berdagang itu yang paling penting adalah harus selalu bersih semua, baik dari segi peralatan dan tempat dari depan hingga belakangan, dari proses awal produksi hingga proses akhir.
“Misalnya kalau makanan itu wadahnya harus dicuci dengan air mengalir. Meja ditata dengan rapi tidak boleh berantakan,” katanya mengingat pesan dari mentornya.
Sebagai tolok ukur pembanding, ada satu hal yang mengalami peningkatan secara signifikan. Yaitu pada jumlah mie dan bakso yang diproduksi dan terjual setiap harinya. Dulu saat masih berupa gerobak, dalam sehari, mie sebanyak 2 kilogram saja sering tidak habis. Sekarang, Pak Gito harus mampu memproduksi minimal 20 kilogram mie dalam sehari.
Dari 20 kilogram mie itu, biasanya dapat dipakai untuk membuat 250 porsi mie ayam. Begitupun menu bakso, setiap harinya pasti terjual sebanyak 250 porsi. Maka total pelanggan Mie Ayam Bakso CJDW setiap harinya sebanyak 500 orang, jika dihitung satu pelanggan untuk satu porsi.
Mie Ayam Bakso CJDW buka jam 08.00 – 19.00 WIB. Jam makan siang menjadi waktu yang paling disukai pelanggan. Ia tak keberatan untuk membuka warung setiap hari tanpa hari libur. Sebab, ia pun bertempat tinggal di situ bersama istri dan 2 anaknya yang masih sekolah: si sulung di kelas 3 MTsN dan si bungsu di kelas 1 MI.
Sayangnya, ia masih enggan untuk merambah pada penjualan daring. Alasannya, kondisinya yang sekarang ini sudah dirasa cukup untuk dirinya dan keluarga. Ia kuga sadar atas batas kemampuan tenaganya. Sebagai bagian dari paguyuban Warung BERES, ia harus lebih ekstra untuk menjaga kualitas dan kebersihan dagangan. Belum lagi setiap satru bulan, warung harus dilakukan maintenance secara total.
“Sempat pernah mencoba buka cabang, tapi lama-lama tidak kepegang dan akhirnya ditutup. Kalau online itu tenaganya yang tidak ada,” lirihnya.
Bulan puasa menjadi keberkahan sendiri bagi Pak Gito. Ia mengaku 250 porsi mie ayam dan 250 porsi bakso sudah ludes terjual bahkan sebelum magrib tiba.
Pengalamannya di dunia mie ayam ternyata sudah sejak lama. Bermula di masa perantauannya Jakarta. Dia bekerja di bagian pembuat mie sebagai bahan pokok mie ayam. Dari situ ia mengerti betul proses dari mulai meracik adonan hingga mie siap disantap.
“Oleh bosa saya, saya dipasrahin untuk bikin mienya. Ada paling 4 tahunan. Tapi saya mulai tidak nyaman,” kisahnya.
Empat tahun berselang, ia mulai tidak nyaman dengan kehidupan di Jakarta yang serba transaksional dan individual. Itu lah alasannya untuk bertolak ke Yogyakarta untuk memulai bisnisnya sendiri.
Dari sekian lama pengalamannya di dunia mie ayam, ia bahkan bisa membedakan kualitas mie yang dijual di pasaran. Mie Ayam Bakso CJDW milik Pak Gito sudah terkenal dengan rasanya yang enak.
Di tengah keberhasilannya, ia tak pernah lupa dengan kebaikan para donatur Dompet Dhuafa. Dengan sangat bangga, ia tak segan untuk selalu menampilkan logo Dompet Dhuafa di warungnya.
Sekilas info mengenai Program pemberdayaan masyarakat Warung Beres sendiri dijalankan oleh Dompet Dhuafa Cabang Yogyakarta (DD Jogja). Sejak awal berdiri, Dompet Dhuafa telah berkomitmen untuk mengelola dana zakat menjadi sesuatu yang produktif dan berkontribusi pada peningkatan kemampuan kaum dhuafa, bukan hanya sekedar bersifat konsumtif. Komitmen itu terwujud dalam konsep zakat produktif yang berujung kepada pemberdayaan kaum dhuafa.