HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menjelang Hari Pahlawan, Presiden Joko Widodo telah memberikan anugerah kepada 6 (enam) orang tokoh sebagai Pahlawan Nasional. Penetapan itu tertuang di dalam Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH2023 tertanggal 6 November 2023.

Sejumlah nama yang digelari Pahlawan Nasional antara lain ; Ida Dewa Agung Jambe, Bataha Santiago, Mohammad Tabrani Soerjowitjirto, Ratu Kalinyamat, KH Abdul Halim, dan KH Ahmad Hanafiah.

“Ini adalah anugerah dari Presiden Republik Indonesia sesuai dengan kewenangan, sesuai dengan UU,” kata Menko Polhukam, Mahfud MD di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (8/11) seperti dikutip Holopis.com.

Lantas apa keistimewaan keenam nama tersebut sehingga perlu diberikan anugerah sebagai Pahlawan Nasional. Yuk kita intip sekelumit tentang peran keenam tokoh tersebut dalam upaya merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah kolonial.

1. Ida Dewa Agung Jambe

Ida Dewa Agung Jambe adalah tokoh asal pulau Dewata, Bali. Ia bahkan merupakan seorang Raja Klungkung kedua. Kerajaan yang didirikan pada tahun 1686 tersebut merupakan salah satu pejuang perlawanan kolonial Belanda.

Dalam situs sejarah Kabupaten Klungkung, Ida Dewa Agung Jambe diketahui adalah putra dari Raja Gelgel, yakni Dalem Di Made. Bahkan pasukan Ida Dewa Agung Jambe diceritakan sangat gigih dalam melawan penjajahan Belanda saat itu, hingga akhirnya sebuah peristiwa bersejarah dicatat, yakni sebuah perang yang dikenal sebagai Perang Puputan. Ida Dewa Agung Jambe meninggal dunia pada tanggal 28 April 1908 karena diberondong peluru tentara Belanda kala itu.

2. Bataha Santiago

Seperti Ida Dewa Agung Jambe, Bataha Santiago juga mendapat gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo tahun 2023. Hal ini karena Bataha Santiago dicatat sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1675. Tokoh asal Sulawesi Utara tersebut dihukum mati oleh pemerintahan kolonial Belanda karena menolak persekutuan dagang Belanda bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).

Nama Bataha Santiago harum di kalangan masyarakat usai dirinya digantung oleh pemerintahan Belanda di Pulau Sangihe Besar. Bahkan sebuah teluk di Pulai Sangihe itu dikenal sebagai Teluk Santiago sebagai tanda masyarakat menengan sosok pejuang itu.

Bataha Santiago ternyata bukan orang sembarangan. Sebab ia adalah keturunan dari Raja Tompoliu yang menjabat sebagai Raja Manganitu. Bataha mulai menjabat sebagai raja usai ayahnya wafat pada tahun 1670.

Akhir hidup Bataha Santiago berakhir di tali gantungan pasca ia kalah taktik licik pemerintah Belanda yang memaksa Kerajaan Manganitu melakukan tanda tangan kontrak politik dengan VOC. Alasan Bataha menolak kontrak politik tersebut karena ada tiga poin perjanjian di dalam kontrak itu yang tidak disepakatinya. Ketiganya yaitu semua tanaman cengkih harus ditebang, tidak boleh ada agama lain selain aliran Gereformeerd, dan semua alat kebudayaan kerajaan harus dibakar.

Hingga pada tahun 1675, ia digantung pemerintah Belanda di Tanjung Tahuna setelah kalah perang dengan militer kolonial Belanda saat itu.

Baca selengkapnya di halaman kedua.