HOLOPIS.COM, JAKARTA – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah menggelar sidang atas laporan masyarakat terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres.
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Juanda mengingatkan Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie untuk bersikap objektif dalam memimpin jalannya sidang tersebut. Sebab sidang yang erat tersebut menjadi pertaruhan kredibilitas Jimly untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada MK.
“Kalau ditemukan ada pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua MK maka di sini ajang pembuktian sikap objektif Prof Jimly harus menjatuhkan putusan tegas,” kata Juanda dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Selasa (31/10).
Menurut Dosen Hukum di Universitas Bhayangkara Jakarta ini, putusan MK No 90 PUU-XX/2023 merupakan titik awal dugaan pelanggaran konstitusi. Dari putusan ini bisa dipakai untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran kode etik.
“Saya berharap MKMK ini tidak bermain di dalam ranah politik. Tidak mencoba berselingkuh dengan kekuatan politik tertentu. Kecuali hanya fokus konsisten pada penegakan hukum yg obyektif,” kata Juanda.
Dia pun menaruh harapan besar terhadap sosok Jimly Asshiddiqie untuk memberikan putusan yang kuat dengan melakukan wewenangnya juga secara kuat.
Sebab, menurut Juanda, sidang etik terhadap hakim konstitusi ini akan berdampak pada kepercayaan masyarakat atas hasil pemilu 2024, apabila nantinya ada sengketa pemilu.
“Saya berharap tidak ada goyangan atau godaan dari kekuatan politik apapun terhadap Jimly Asshiddiqie. Sebab kalau putusan tidak sesuai harapan masyarakat maka muaranya ke pemilu 2024. Bakal ada sengeketa pemilu yang ditangani MK. Nantinya masyarakat tidak percaya terhadap MK,” tegas Juanda.
Sebagaimana diketahui, MK pada Senin (16/10) lalu mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.
Dalam gugatannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan MK itu lantas menjadi kontroversi karena dinilai sarat akan konflik kepentingan. Alhasil, banyak laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu.