HOLOPIS.COM, JAKARTA – Meski terik matahari begitu menyengat, hal itu tetap tak menyurutkan semangat Deni. Lelaki 40 tahun yang telah memiliki satu istri dan dua anak itu tak punya pilihan untuk bekerja di perusahaan atau-pun pabrik, selain menjadi ojek online.
Deni memang pernah berprofesi sebagai photographer di sebuah studio foto di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara sejak 2010. Namun, profesinya sebagai ahli jepret terpaksa berhenti, lantaran tempat kerjanya bangkrut di tahun 2017.
Sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, pria lulusan strata satu ekonomi di sebuah kampus swasta di Jakarta ini tak patah arang untuk mencari pekerjaan baru agar bisa menafkahi istri dan anak-anaknya.
Puluhan pabrik dan perusahaan sudah disambanginya untuk mendapat kesempatan bekerja. Namun, tak ada satu-pun yang menerima Deni sebagai karyawan, karena ada dua “syarat” yang tak bisa dipenuhinya.
“Setelah tak lagi jadi photographer, saya pernah coba juga melamar di pabrik dan perusahaan. Tapi, lagi-lagi saya nggak keterima, karena syarat bekerja di perusahaan dan pabrik harus ada orang dalam atau ada uang pelicinnya juga,” tutur Deni sembari menghela nafasnya dalam-dalam.
Ternyata Dewi Fortuna masih berpihak pada Deni. Tepatnya Maret 2017, pria berbadan gempal dengan tinggi sekitar 170 cm itu diterima bekerja sebagai ojek online. Itu pun ia harus merogoh kocek ratusan ribu rupiah untuk membayar administrasi termasuk top up pulsa, helm, dan jaket.
“Pertama kali memulai jadi ojek online, saya harus bayar Rp 200 ribu lebih lah untuk helm, jaket, dan top up pulsa. Menurut saya nilai segitu masih masuk akal lah,” ujar Deni.
Selain biaya administrasi, Deni juga harus menyiapkan Rp 100 ribu per hari untuk narik guna jaga-jaga jika ban bocor, bensin habis, motor mogok, makan dan minum di warung.
Memang, diakui Deni, di awal dia menjadi ojek online, penghasilan kotornya per hari rata-rata mencapai Rp 350 ribu, sehingga ia bisa membawa uang ke rumah Rp 250 ribu. Maklum, ketika itu dari aplikator menyediakan bonus jika driver bisa mencapai poin tertentu. Misalnya, 30 poin maksimal bonus Rp 180 ribu.
“Kalau di awal lumayan juga pendapatan saya. Tapi, sekarang ini bonus sudah dikurangi. Sekarang ini saya hampir setiap hari hanya bawa uang ke rumah paling mentok itu Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu,” keluh Deni.
Beruntung Deni memiliki pasangan hidup yang sabar dan selalu memberikan semangat. Sebagai ibu rumah tangga yang menyadari penghasilan suaminya pas-pasan, Yuli pun turut berjibaku mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan membuat dan berdagang rempeyek kacang.
“Beruntung istri saya bisa mengerti profesi saya sebagai ojek online yang penghasilannya gak menentu. Dia (red. Yuli) dagang rempeyek ke warung-warung. Penghasilan bersihnya rata-rata Rp 100 ribu. Lumayan lah buat tambah-tambah,” ungkap Deni.
Mimpi buruk mulai menghantui Deni manakala harga kebutuhan pokok mulai meroket dan biaya pendidikan anak melambung tinggi.
“Rp 200 ribu penghasilan saya dan istri sekarang nggak ada artinya. Harga beras yang paling murah saja per liter sudah Rp 12 ribu. Belum lagi sayur mayur untuk lauk, ongkos anak sekolah, bayar token listrik, dan sebagainya. Saya siasatinnya, kalau siang dapat Rp 50 ribu, saya belikan beras dan lauk untuk keluarga, supaya nggak kelaparan. Minimal itu dulu deh,” imbuh Deni.
Deni pun mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengumbar janji ketika kampanye Pilpres 2019 bahwa ekonomi Indonesia meroket. Karena, pada kenyataannya, perekonomian masyarakat di bawah justru tekor.
“Kata Jokowi, ekonomi Indonesia meroket, tapi kenyataannya perekonomian rakyat malah tekor. Jokowi bilang bakal ada tambahan modal usaha bagi pelaku UMKM. Faktanya, istri saya coba melakukan pinjaman, sampai sekarang ini nggak cair. Beruntung dagang rempeyek nggak perlu modal gede, cukup dari penghasilan bersih saya yang istri saya tabung. Nggak ada tuh peran pemerintah,” tukas Deni dengan nada tinggi dan raut wajah kesal.
Baca selengkapnya keluh kesah Deni di halaman kedua.