Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berencana untuk menggelar aksi unjuk rasa untuk merespons putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan gugatan batas usia Capres-Cawapres yang diajukan oleh kelompok masyarakat.

Dimana dalam putusan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, MK meloloskan sebagian dari gugatan yang dilayangkan oleh Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Almas Tsaqibirru, yakni batas minimal usia tetap 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah.

Dalam keterangan pers yang diterima Holopis.com dari BEM SI Rakyat Bangkit, mereka menganggap bahwa apa yang diputuskan oleh majelis hakim MK hanya sebagai instrumen dan alat bagi anak Presiden bernama Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden.

“Keputusan MK pada tanggal 16 Oktober 2023 tentang syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai Gubernur boleh menjadi Capres-Cawapres bagaikan karpet merah untuk anak Presiden mendapatkan kekuasaan,” tulis BEM SI dalam rilis persnya, Rabu (18/10).

Mereka memprotes karena putusan hakim MK tidak mencerminkan sisi negarawan yang baik, malah memperlihatkan bagaimana persekongkolan jahat untuk memuluskan niat Presiden Joko Widodo melahirkan dinasti politik kekuasaan.

“Hal ini sarat akan persekongkolan jahat antara lembaga eksekutif dan yudikatif demi mewujudkan Politik Dinasti. MK telah terjebak dalam pusaran politik yang sangat mencederai demokrasi dan konstitusi,” lanjutnya.

Rencananya, aksi unjuk rasa dari BEM SI Rakyat Bangkit pimpinan Hilmi Ash Shidiqi yang notabane adalah Mahasiswa UNS Solo tersebut akan berlangsung di Istana Negara Jakarta pada hari Jumat, 20 Oktober 2023 pukul 14.00 WIB.

Mereka ingin agar pemerintahan Presiden Joko Widodo mau mengevaluasi diri agar tidak selalu memberikan dampak kurang baik bagi masa depan bangsa dan negara.

“Rezim Jokowi tidak ada habisnya membuat masalah dan membuat masyarakat kecewa. Selama 9 tahun berkuasa banyak tanah rakyat yang dirampas, repreaifitas-brutalitas aparat yang tak terhentikan, pelanggaran HAM yang tidak tuntas pengusutannya dan bahkan terus berulang, dan hal-hal lainnya yang merusak tatanan negara,” tandasnya.