HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mata uang Indonesia, yakni rupiah tengah diselimuti awan suram sepanjang pekan lalu, bahkan dapat dikatakan ambruk.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (6/10) pekan lalu, telah berada di level Rp15.612.

Menteri Keuangan (Menkeu), Chatib Basri menjelaskan, bahwa kondisi melemahnya nilai tukar rupiah saat ini merupakan akibat ekspektasi akan potensi naiknya Fed Funds Rate (FFR).

Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah perlu melakukan intervensi atas permasalahan tersebut. Menurutnya, Jika BI ingin memiliki independent monetary policy, maka nilai tukar bergerak mengikuti pasar dan modal bergerak bebas.

Masalahnya, Chatib melihat BI tidak mungkin sepenuhnya mengadopsi floating exchange rate karena akan mendorong depresiasi rupiah yang terlalu tajam. Artinya dapat membuat exchange rate overshoot, mengingat ada trauma krisis 1998 silam.

Di sisi lain, BI juga tidak bisa mengerek tinggi suku bunga seperti yang dilakukan Federal Reserve (The Fed), karena Indonesia memiliki misi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Bila BI ingin menjaga rupiah, maka opsinya adalah menaikkan bunga mengikuti FFR untuk menjaga paritas bunga, atau intervensi di FX market atau kombinasi keduanya. Dugaan saya saat ini yang dilalukan adalah intervensi FX market,” ujarnya dikutip Holopis.com dari unggahan di akun Instagramnya, dikutip Minggu (8/10).

Chatib melihat, BI akan cenderung mengambil langkah intervensi FX market, dengan menambah supply dollar dan menyerap rupiah, sehingga likuditas rupiah menjadi lebih ketat. Disaat yang sama, fiscal surplus yang terjadi juga membuat likuditas semakin ketat.

Dengan menjalankan langkah tersebut, Chatib melihat dampaknya merembet pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berpotensi melambat pada kuartal terakhir di tahun 2023 ini.

“Bila pelemahan rupiah terus berlangsung, maka BI mungkin akan menjalankan kembali policy mix: intervensi di FX market untuk menjaga volatilitas, menaikkan bunga, menerapkan macro prudential,” tuturnya.

Disisi pemerintah, ia menilai pemerintah perlu untuk mempercepat belanja. Terlebih dengan adanya fenomena El Nino yang imbasnya sudah terasa saat ini, salah satunya yakni kenaikan harga beras.

Menurut Chatib, kenaikan harga komoditas pangan ini perlu untuk segera diantisipasi, karena kenaikan harga yang dibarengi dengan pasokan beras global yang terbatas punya dampak yang signifikan bagi kelompok miskin dan rentan.

Oleh karena itu, Ia pun mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan opsi kebijakan fiskal, salah satunya dengan memberikan subsidi kepada kelompok rentan.

“Perluas coverage BLT, PKH dan perlindungan sosial. Prioritas fiscal menjadi sangat penting. Belanja pemerintah perlu diarahkan untuk membantu kelompok menegah bawah dan rentan,” tutupnya.