HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie menyatakan, hoaks daur ulang ini diprediksi akan terus bermunculan. Penyebabnya, masyarakat Indonesia literasi digitalnya rendah, salah satunya adalah soal jelang Pemilu 2024. Salah satu berita hoaks yang disorot adalah soal Warga Negara Asing mudah dapat Kartu Tanda Penduduk agar bisa ikut Pemilu, termasuk hoaks lainnya yang mulai muncul dan mendekati masa pendaftaran Pilpres.

“Minim check dan recheck, sehingga tidak sadar dan dengan mudah menerima hoax,” kata Jerry saat diskusi dengan tema “Hoax Lama Bersemi Lagi, Daur Ulang Cerita Palsu Jelang 2024”, di Jakarta seperti dikutip Holopis.com, Jumat (6/10).

Seperti diberitakan, selain isu tampar menampar yang menghebohkan, beredar unggahan hoax di media sosial yang mengklaim ribuan WNA Cina diberi KTP untuk persiapan Pemilu 2024. Unggahan tersebut disertai tautan artikel yang berisi foto tumpukan KTP dengan muka yang disamarkan. Kementerian Dalam Negeri memastikan itu adalah palsu.

Dikatakan Jerry, pembunuhan karakter lewat cerita palsu, saling klaim jumlah massa, hingga yang berpotensi mengganggu jalannya Pemilu seperti isu WNA ber-KTP Indonesia memang sengaja dimunculkan.

“Memang untuk bikin panas situasi yang mengacaukan kondisi selama proses Pemilu,” tuturnya.

Bahkan, lanjutnya, ada semacam rumah produksi yang memperkerjakan orang-orang yang dikenal sebagai buzzer untuk membuat dan menyebarkan hoax. Ada aktor dan donatur besarnya.

“Sehingga kalau ingat, kasus operasi plastik, isu dugaan penamparan, KTP, dan hoax-hoax Pemilu yang lainnya kan seperti kaset lama diputar ulang,” tambahnya.

Praktik ini, pinta Jerry, harus segera dihentikan. Sebab, membahayakan kehidupan berdemokrasi. Pembunuhan karakter, yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan, dapat memecah belah anak bangsa. Kemenkominfo, Polri, harus bekerja sama dengan platform media sosial.

“Ungkap aktor, pendana utama, rumah produksi hoax. Bersihkan jaringannya. Habisi grup dan akun-akun bodong ternakan. Perketat aturan di media sosial,” tegasnya.

Selain menindak sumber pendana dan aktor utama, harus ada pidana khusus atau pengetatan regulasi bagi pemproduksi berita palsu di media sosial. Pemerintah, perangkat penegak hukum, penyelenggara Pemilu, hingga media mainstream, harus sering turun ke bawah. Seperti ke sekolah-sekolah dan kelompok masyarakat untuk sosialisasi bahaya hoax.

“Edukasi pemilih secara massif. Para elite partai juga harus memberi pendidikan politik,” pungkasnya.