HOLOPIS.COM, JAKARTA – Utang pemerintah terus menunjukkan adanya penambahan. Hingga 31 Agustus 2023, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah telah mencapai Rp7.870,35 triliun.
Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau secara tahunan, utang pemerintah naik Rp633,74 triliun. Sedangkan secara bulanan, jumlah utang pemerintah itu naik Rp14,82 triliun.
Bertambahnya utang tersebut, membuat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) per Agustus 2023 juga ikut terkerek naik menjadi 37,84 persen. Namun Kemenkeu mengklaim, rasio utang tersebut masih berada di batas aman, yakni 60 persen PDB.
“Rasio ini juga masih sesuai dengan yang ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026 di kisaran 40%,” tulis Kemenkeu sebagaimana dikutip Holopis.com dari Buku APBN KiTA, Senin (25/9).
Adapun jenis utang pemerintah terdiri atas surat berharga negara (SBN) dan pinjaman, dimana sebagian besar utang pemerintah adalah SBN dengan proporsi 88,88 persen, dan sisanya adalah pinjaman yang memiliki proporsi 11,12 persen.
Secara rinci, jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN sebesar Rp6.995,18 triliun. Jumlah itu terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.663,94 triliun yang berasal dari Surat Utang Negara Rp 4.576,43 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 1.087,51 triliun.
Sedangkan jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN valuta asing hingga Agustus 2023 sebesar Rp 1.331,24 triliun, terdiri dari Surat Utang Negara Rp 1.027,65 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp 303,59 triliun.
Sementara jumlah utang pemerintah dalam bentuk pinjaman adalah sebesar Rp 875,17 triliun. Jumlah itu terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 25,11 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 850,05 triliun.
Secara rinci, pinjaman luar negeri yang sebesar Rp 850,05 triliun terdiri dari bilateral sebesar Rp 264,56 triliun, multilateral sebesar Rp 524,10 triliun, dan commercial banks sebesar Rp 61,39 triliun.
“Pemerintah melakukan pengelolaan utang secara baik dengan risiko yang terkendali, antara lain melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” klaim Kemenkeu.