Reservasi Bangsa Indian Amerika dan Kasus Masyarakat Melayu Rempang – Galang

Aziz Yanuar
Aziz Yanuar
Ketua DPP-Advokat Persaudaraan Islam (API)

16 ribu lebih penduduk asli melayu pulau Rempang direncanakan akan direlokasi dan diberi tanah 500 M² serta rumah type 45. Negara dengan terang-terangan menihilkan hak masyarakat Melayu dan memilih berpihak kepada investor.

Mari kita bandingkan antara, pemaksaan dan pengambilalihan tanah bangsa Indian oleh bangsa kulit putih atas nama pemerintah federal Amerika Serikat, dengan pola yang dilakukan oleh pemerintah yang mengaku berazaskan dan berlandaskan Pancasila.

Dulu saat bangsa kulit putih men-koloni tanah benua Amerika Serikat, bangsa Indian dipaksa masuk dalam wilayah pemukiman khusus yang diberi nama program reservasi. Sistem reservasi terhadap bangsa Indian oleh bangsa kulit putih pendatang menetapkan sebidang tanah yang disebut reservasi bagi penduduk asli Amerika Serikat untuk ditinggali oleh bangsa Indian sebagai penduduk asli. Jadi penduduk asli di bawah kendali pemukim pendatang.

Ketika pemukim kulit putih mengambil alih tanah bangsa Indian, dibuatkan program reservasi bagi orang Indian dan program tersebut adalah untuk membawa penduduk asli Amerika Serikat di bawah kendali Pemerintah Amerika Serikat, meminimalkan konflik antara bangsa Indian dan pemukim pendatang serta mendorong penduduk asli Amerika Serikat untuk mengikuti cara hidup orang kulit putih.

Banyak penduduk asli Amerika Serikat (bangsa Indian) yang terpaksa melakukan reservasi dengan akibat yang sangat buruk dan dampak jangka panjang yang menghancurkan.

Perjanjian Hopewell

Pada tahun 1785, Perjanjian Hopewell ditandatangani di Georgia-negara bagian terbesar pada saat itu yang menempatkan penduduk asli Cherokee di bawah perlindungan Amerika Serikat yang masih muda dan menetapkan batas-batas tanah mereka.

Namun tidak lama kemudian para pemukim Eropa menyerbu tanah Cherokee. Suku Cherokee berteriak-teriak dan memberontak terhadap pemukiman kulit putih. Untuk membangun kembali perdamaian antara suku Cherokee dan para pemukim, Perjanjian Holston ditandatangani pada tahun 1791 di mana suku Cherokee setuju untuk menyerahkan semua tanah di luar perbatasan mereka yang telah ditetapkan.

Pemerintah federal tidak hanya menginginkan penduduk asli Amerika menyerahkan tanah mereka, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi petani dan beragama Kristen. Pada awal abad ke-19, para pemukim pindah ke wilayah selatan Cherokee secara massal dan ingin perwakilan pemerintah mereka mengklaim tanah tersebut. Reservasi bangsa Indian di era modern saat ini masih ada di seluruh Amerika Serikat dan berada di bawah payung Biro Urusan India (BIA). Suku-suku di setiap reservasi berdaulat dan tidak tunduk pada sebagian besar undang-undang federal.

Bila kita lihat, program reservasi yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, masih memberi wilayah kedaulatan hukum adat bagi bangsa Indian dan tanah yang cukup luas sebagai wilayah hidup/ ruang hidup bangsa Indian atau lebensraum. Namun, bila kita bandingkan dengan kebijakan politik ekonomi rezim penguasa NKRI dalam kasus pulau Rempang, masyarakat melayu hanya diberi rumah type 45 dan tanah 500 M².

Bisa kita bandingkan kejahatan dan kezaliman kebijakan di antara dua rezim pemerintah yang secara sepihak memaksakan kehendaknya melalui kekuatan senjata dan aparat hukum.

Status Hukum HGU yang Diberikan Negara kepada Investor

Bila kita pegang pernyataan dari Menkopolhukam bahwa tanah di pulau Rempang sejak tahun 2000-an sudah diberikan negara kepada investor, lalu tahun 2024 ini si investor mau menggunakan tanah tersebut, dan ternyata sudah berisi penduduk.

Maka bila kita pegang pernyataan tersebut, dan seandainya benar pernyataan rezim penguasa bahwa masyarakat Melayu menempati tanah kosong yang diberikan negara kepada investor (walaupun tentu saja kenyataannya tidak seperti yang dinyatakan rezim penguasa tersebut) hal ini berarti, sejak negara memberikan HGU atau HGB tersebut kepada investor (koalisi investor dari RRC dan investor keturunan RRC), si investor tidak pernah melakukan kegiatan selama 20 tahunan.

Secara hukum, HGU atau HGB yang diterlantarkan lebih dari 3 tahun, itu kembali menjadi tanah negara bebas, sehingga masyarakat yang secara terus menerus hidup di wilayah tersebut paling berhak atas tanah tersebut.

Seperti yang termaktub dalam Pasal 34 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan: “Hak guna-usaha hapus karena diterlantarkan”. Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 40 huruf e UUPA pun menyatakan: “Hak guna bangunan hapus karena diterlantarkan.

Lagi pula, apabila si investor yang dulunya mendapatkan tanah tersebut dari negara, haruslah membeli terlebih dahulu kepada masyarakat yang menguasai dan mengelola tanah tersebut. Tidak bisa serta merta negara memberikan HGU atau HGB kepada investor.

Dan apabila masyarakat menolak untuk melepaskan hak atas tanah tersebut, maka tanah tersebut harus di-inclave, tidak boleh dirampas menggunakan kekuatan senjata dan aparat hukum.

Sebab proyek tersebut BUKAN kategori proyek untuk kepentingan umum, namun hanya proyek swasta yang mekanisme perolehan hak atas tanahnya haruslah melalui proses jual beli dan kesepakatan para pihak tanpa boleh di intervensi apalagi dipaksa oleh kekuatan senjata dan aparat hukum.

Bila benar, rezim hari ini tegak lurus terhadap konstitusi sepatutnya penguasa hari ini berdiri di pihak masyarakat Rempang dan memberikan perlindungan terhadap diri pribadi rakyat Rempang, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan masyarakat Rempang, dan memberikan rasa aman serta perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana diamanatkan konstitusi Pasal 28G UUD 1945 bukan malah berdiri menjadi kepanjangan investor yang keabsahan atas haknya di tanah Rempang nyata-nyata cacat.

Inilah wajah asli rezim penguasa yang selama ini selalu menggunakan jargon dan topeng paling Pancasila, paling patuh konstitusi dan hukum dan paling merakyat dan paling peduli adat dengan setiap 17 Agustus menggunakan pakaian adat pada upacara kemerdekaan. Perilaku dan kebijakannya 180 derajat berbanding terbalik dengan simbol dan jargon yang diusung sendiri. Tidak ada perbedaan kebijakan antara rezim kolonial kulit putih Amerika Serikat dengan rezim quasi penguasa kolonial di Indonesia. Yang berbeda hanya aktor dan zamannya.

Temukan kami juga di Google News lalu klik ikon bintang untuk mengikuti. Atau kamu bisa follow WhatsaApp Holopis.com Channel untuk dapatkan update 10 berita pilihan dari redaksi kami.

berita Lainnya
Related

Alasan Memutuskan Bercerai Setelah Puluhan Tahun Bersama

"Cinta tidak menciptakan pernikahan. Pernikahan yang sadar, terencana, menciptakan...

Penembakan Guru Madin di Jepara dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Kasus penembakan yang menimpa seorang guru Madrasah Diniyah (Madin)...

Kenapa Masyarakat Memperbincangkan NPD ?

Perkembangan teknologi informasi memberi ruang yang besar bagi masyarakat...

Berita Terbaru