HOLOPIS.COM – 13 Agustus kemarin tepat setelah partai Golkar dan PAN menyatakan gabung ke dalam koalisi Gerindra-PKB, koalisi pengusung Prabowo Subianto pun menjadi kian lengkap. Sekaligus ini menjadi bukti bahwa pensiunan militer pun nyatanya masih cukup seksi untuk didukung, bahkan di abad modern ini.
Tentu bukan ajian remeh-temeh yang beliau keluarkan, buktinya partai langganan Senayan seperti Golkar, PAN, dan PKB menyatakan gabung dan beraliansi dengan Gerindra. Bahkan partai yang memiliki tokoh kuat seperti PBB dan Gelora pun isunya sedang dalam proses untuk menjalin aliansi.
Melihat kasak-kusuk Prabowo saat ini, saya jadi teringat masa lalu saat Majapahit masih memiliki Gajah Mada. Tidak bisa dipungkiri lagi, baik Prabowo dan Gajah Mada nyatanya memiliki beberapa persamaan; sama-sama berasal dari kalangan militer, pernah menjabat posisi strategis dalam pemerintahan, dan yang pasti adalah mereka sama-sama cerdik dalam mengatur strategi.
Kesuksesan Gajah Mada dalam menguasai beberapa wilayah strategis di Nusantara pada masa lampau dan kesuksesan Prabowo membangun Gerindra dalam kurang dari 20 tahun hingga menjadi partai top 3 nasional tentu bukanlah hal yang mudah. Butuh banyak air mata, keringat, darah, dan bahkan modal yang sangat besar untuk memuluskan jalan perjuangan mereka.
Tak bisa dipungkiri lagi, baik Gajah Mada maupun Prabowo adalah sosok cerdas yang pernah dimiliki bangsa ini. Selain itu, rasa cinta tanah airnya yang sangat besar menjadi poin tambahan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain, meskipun disisi lain ini bagai bilah mata pisau yang bisa menjadi keuntungan, namun disisi lain bisa merugikan kita sebagai warga sipil.
Andaikata nanti kita dipimpin oleh Presiden yang merupakan golongan militer, tentu bayangan akan orde baru akan sangat nyata dan mungkin saja masa otoriter itu bisa kembali lagi. Kemungkinan ini tentu tidak bisa kita abaikan dan kita sebagai masyarakat sipil harus memperhitungkan akan fakta ini. Pelanggaran HAM, Nepotisme, Korupsi dan terbatasnya kebebasan berekspresi yang sangat melekat dengan orde baru bukanlah hal yang tidak mungkin akan kembali lagi.
Ketakutan masyarakat dengan bayang-bayang militer yang memimpin negara bukanlah hal yang biasa. Beberapa bukti penelitian oleh para ahli menunjukkan bahwa ketika militer memimpin negara, ada kecenderungan untuk munculnya sifat otoriter dalam pemerintahan. Bahkan Samuel Huntington dalam bukunya “The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations” (1957) menyatakan, “Militer yang terlibat dalam politik cenderung lebih fokus pada hierarki, disiplin, dan pengambilan keputusan cepat, yang mungkin mengarah pada pengorbanan hak-hak sipil”.
Penelitian menunjukkan bahwa struktur hierarkis dan disiplin militer dapat mengakibatkan penekanan pada kontrol ketat, pembatasan kebebasan sipil, dan penghapusan hak-hak politik. Selain itu, penggunaan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaan sering kali menghasilkan pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan terhadap oposisi politik. Studi tentang kudeta militer juga menunjukkan bahwa pemerintahan militer cenderung menghambat perkembangan demokrasi dan partisipasi publik.
Bisa dikatakan, gagasan bahwa militer yang memimpin negara memiliki kemungkinan besar dapat mengarah pada kecenderungan sifat otoriter dalam pemerintahan. Juan J. Linz dan Alfred Stepan bahkan dalam bukunya “The Breakdown of Democratic Regimes” (1978) mengatakan, “Dominasi militer dalam pemerintahan dapat menghasilkan kecenderungan otoriter dan cenderung merusak mekanisme demokrasi.”
Dengan pernyataan-pernyataan seperti itu, tentu keberadaan militer bukanlah hal yang benar-benar baik jika kita ingin memperjuangkan semangat reformasi dan memperbaiki demokrasi di Indonesia.
Namun di sisi lain, mengingat bangsa ini sudah terlalu lama dijajah yang mengakibatkan hilangnya rasa kepercayaan diri kita untuk berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju, tentu keberadaan pemimpin militer harus cukup kita perhitungkan. Keberhasilan Gajah Mada dalam membesarkan Majapahit dan menyatukan Nusantara tentu bukanlah hal yang mudah dan akan sangat dipastikan dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri masyarakat Majapahit di waktu itu.
Sifat Nasionalisme tinggi dari Prabowo dan cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai macan asia tentu bukanlah hal yang mudah untuk diperjuangkan. Tapi jika itu benar-benar bisa terjadi dan gagasan akan Indonesia Raya yang mampu berdikari dapat terealisasi, tentu sudah bisa kita pastikan itu semua akan meningkatkan rasa kepercayaan diri masyarakat kita untuk sejajar dengan bangsa asing. Apalagi di tengah situasi geopolitik yang kian memanas akibat perang Rusia-Ukraina yang hingga hari ini masih belum menunjukkan tanda-tanda yang baik, tentu sifat Nasionalisme dan kepercayaan diri akan bangsa ini akan sangat dibutuhkan dalam memastikan negara ini tetap ada dan tidak tergoda untuk keluar dari jalur yang sudah leluhur kita sepakati.
Lantas pertanyaannya, andaikata kelak Prabowo yang memimpin, apakah beliau akan mampu membawa negara ini menjadi macan Asia dan merealisasikan cita-cita akan Indonesia Raya? Atau malah membuat sang macan semakin ringkih serta semakin meredupkan semangat reformasi kita?