HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menunda pembayaran utang selisih harga atau rafraksi minyak goreng kepada para pengusaha ritel.
Akibatnya, para pengusaha mengancam akan melakukan sejumlah hal, salah satunya yakni dengan melakukan pemotongan tagihan pembelian minyak goreng dari supplier atau produsen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan bentuk desakan dari pihaknya kepada pemerintah untuk segera membayar kewajibannya.
“Akan ada pemotongan tagihan kepada distributor atau supplier minyak goreng oleh perusahaan ritel kepada distributor,” ujar Roy dalam konferensi pers yang dikutip Holopis.com, Jumat (18/8).
Selain itu, para pengusaha ritel juga berencana untuk mengurangi pembelian minyak goreng mereka dari distributor minyak goreng.
Bahkan, skenario terburuk yang akan dipilih yakni menghentikan pembelian minyak goreng dari distributor apabila tidak ada kepastian kapan hak mereka akan dipenuhi.
“Aprindo sendiri tidak bisa membendung rencana-rencana tersebut. Aprindo enggak ada menginisiasi,” tuturnya.
Disamping itu, Aprindo juga masih terus berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) dalam menyelesaikan permasalahan utang rafraksi minyak goreng tersebut.
Roy menyebut, pihaknya tidak akan segan menggungat Kemendag beserta aturannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu, kata dia, merupakan langkah terakhir yang akan ditempuh pihaknya untuk menyelesaikan polemik utang minyak goreng tersebut.
“Kenapa enggak langsung kita ke PTUN? karena anggota (ritel) minta untuk jalanin empat langkah yang tadi dahulu. Jadi Aprindo ngikut saja,” kata Roy.
Sebagaimana diketahui, perusahaan ritel seyogianya telah menunggu pembayaran selisih harga penjualan minyak goreng sejak Februari 2022 lalu.
Saat itu, peritel diwajibkan menjual minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No.3/2022. Padahal modal pembelian mereka sudah di atas Rp17.620 per liter.
Adapun jumlah utang rafaksi yang diklaim oleh para pengusaha ritel mencapai Rp344 miliar. Namun, proses pembayaran tersebut masih terhambat di Kemendag yang tak kunjung menyerahkan hasil verifikasi kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BDPKS) sebagai lembaga yang berwenang untuk membayarkan utang rafaksi.
Kemendag berdalih, dasar hukum aturan rafaksi tidak berlaku lagi hingga meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagug) dan meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meninjau ulang hasil audit yang dilakukan Sucofindo. Sebab, terdapat perbedaan antara nilai utang yang diklaim peritel dengan hasil verifikasi Sucofindo.
Meskipun pendapat hukum Kejagung menyatakan ada kewajiban pemerintah membayar utang rafaksi tersebut, dan penolakan BPKP untuk mengaudit ulang, namun Kemendag dinilai masih belum menunjukkan adanya tanda-tanda untuk menyelesaikan polemik utang tersebut.