Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Proklamasi kemerdekaan RI (Republik Indonesia) pada 17 Agustus 1945 punya rangkaian cerita yang cukup panjang, diawali dari kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua.

Dikutip Holopis.com dari situs Kemendikbud, Rabu (16/8) Hal tersebut ditandai dengan jatuhnya bom atom di Kota Hiroshima, Jepang oleh Amerika Serikat pada 6 Agustus 1945.

Tiga hari kemudian, Amerika Serikat kembali melakukan serangan bom atom kedua yang dijatuhkannya dari atas Kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Peristiwa ini memaksa Kaisar Jepang Hirohito menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya pada 15 Agustus 1945.

Peristiwa tersebut kemudian beredar di Tanah Air melalui radio, yang membuat para golongan muda mendesak Soekarno dan Hatta memanfaatkan situasi tersebut dengan menyatakan proklamasi.

Sayangnya, keinginan golongan muda itu ditolak Soekarno dan Hatta dengan alasan belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Jepang.

Kemudian, pada tanggal 10 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta didampingi Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi.

Akhirnya pada tanggal 12 Agustus 1945, Marsekal Terauchi mengumumkan jika Jepang sudah berada di ambang kekalahan dan akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari.

Setelah mendapat kabar tersebut, Soekarno dan Hatta kembali pulang. Namun setibanya mereka di Indonesia, keduanya diamankan para pemuda di bawah pimpinan Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana pada 16 Agustus 1945.

Ibu Fatmawati dan Guntur (anak Soekarno yang masih berusia 9 bulan) turut dibawa ke Rengasdengklok dengan harapan dwitunggal segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Namun sepanjang hari 16 Agustus 1945 itu tidak tercapai kesepakatan apapun. Ahmad Soebardjo lalu datang dan berusaha membujuk para pemuda untuk melepaskan dwitunggal.

Baca selengkapnya di halaman kedua.