HOLOPIS.COM, JAKARTA – Anak Buah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan ikut angkat bicara terkait adu argumen antara Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait keuntungan hilirisasi mineral tambang, khususnya nikel di Indonesia.

Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto membantah berbagai data dan pernyataan yang dilontarkan Faisal Basri, mulai dari data ekspor produk hilirisasi nikel hingga program hilirisasi yang disebut lebih menguntungkan China ketimbang Indonesia sendiri.

“Kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia. Sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$27,8 miliar atau Rp413,9 triliun,” kata Seto dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Minggu (13/8).

Sebelumnya, Faisal mempertanyakan angka ekspor hilirisasi nikel pada 2022 senilai Rp510 triliun yang disebut oleh Presiden Jokowi sebagai nilai tambah yang didapat pemerintah pascahilirasi nikel.

Dalam data yang dipaparkan Faisal, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil hilirisasi hanya mencapai US$27,8 miliar atau setara dengan Rp413,9 triliun (asumsi kurs Rp14.876 per dolar AS).

Seto pun memberikan klarifikasi atas data yang disampaikan Faisal tersebut. Menurutnya, Faisal tidak memasukkan data eskpor olahan nikel lainnya, seperti nickel matte dan mixed hydrate precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75 yang mencapai angka US$3,8 miliar dan US$2,1 miliar.

“Selain itu, masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73. Jika angka ekspor semuanya ditotal maka angkanya adalah US$34,3 miliar atau Rp510,1 triliun. Tepat sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Seto juga membantah tudingan Faisal yang menyebut program hilirisasi pemerintah lebih banyak menguntungkan China ketimbang Indonesia. Sebab, Indonesia dinilai baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara sebanyak 99 persen NPI yang dihasilkan Indonesia diekspor ke China.

Menurut Seto, cukup mudah bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa tudingan Faisal akan hal tersebut salah. Pasalnya, jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan, maka nilai manfaat dari bijih nikel yang Indonesia miliki 100 persen dinikmati oleh negara lain. Dengan kata lain, tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.

Berdasarkan analisis Seto, dari 100 persen nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel hanya sebesar 40 persen, 12 persen laba operasi yang bisa dinikmati investor, dan 48 persen adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.

“Dari 48 persen angka tersebut, 32 persen dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batu bara, tenaga kerja, dan bahan baku lain sehingga hanya 16 persen yang dinikmati oleh pihak supplier dari luar negeri,” terang Seto.

Berdasarkan hitungan tersebut, Seto mengatakan bahwa nilai tambah yang dinikmati oleh pihak luar negeri, yakni investor dan supplier adalah 16 persen, ditambah komponen laba operasi 12 persen sehingga menjadi 28 persen.

Dengan demikian, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32 persen atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53 persen (32 persen dibagi 32 persen, ditambah 12 persen, ditambah 16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel.

“Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, tidak lagi mendapatkan tax holiday atau bahkan ada keterlibatan investor lokal,” pungkasnya.