Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Analis politik dari Universitas Nasional (UNAS), Selamat Ginting mengatakan, bahwa Rocky Gerung sebenarnya bukanlah ancaman bagi demokrasi. Memang gaya kritisnya cukup tajam dan menggelitik melalui jargon politik akal sehat yang acap kali digaungkannya.

Dalam perspektif tudingan Rocky Gerung menghina Presiden Joko Widodo, Ginting justru melihat bahwa akademisi tersebut hanya tidak sedang dalam rangka menghina Jokowi dalam konteks pribadi, namun sebatas mengritik jabatan Presiden dengan narasi yang tajam, lugas, penuh satire, menghibur, bahkan kontroversial.

Sehingga dengan demikian, ia berpendapat bahwa sosok dan sepak terjang Rocky Gerung dalam konteks ini tidak perlu sampai diganjar masuk ke dalam bui.

“Kritikan Rocky Gerung yang kontroversial kepada penguasa, tidak layak untuk dipenjarakan,” kata Selamat Ginting dalam keterangan tertulisnya yang disampaikan kepada Holopis.com, Sabtu (12/8).

Dengan gaya bicara dan narasi yang diutarakan oleh Rocky membuat dosen Universitas Indonesia (UI) tersebut menjadi kembang media. Dimana ia sering kali diminta hadir dalam berbagai talkshow di media, baik televisi, online maupun radio.

“Rocky Gerung adalah bintang taklshow televisi, radio, dan berbagai saluran media sosial yang mampu menghipnosis penonton, sehingga kehadirannya dirindukan dalam diskusi-diskusi politik,” ujarnya.

Dikemukakan, di tengah tensi politik yang semakin panas jelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), Rocky dianggap tengah hadir sebagai pelepas dahaga publik menghadapi kebijakan politik yang kontroversial. Sehingga sebagai filsuf politik, Rocky tak bosan mengritik pemerintah dengan diksi yang membuat semua pihak terkejut.

“Jika disebut diksinya kasar terhadap Presiden Jokowi, hal itu tidak bisa dipisahkan dari kegundahan batinnya yang jengkel terhadap kebijakan presiden. Banyak yang berujar dengan diksi yang sama seperti Rocky, namun tidak diancam dengan penjara seperti Rocky. Kesimpulannya, kehadiran Rocky dianggap membahayakan kekuasaan,” tandasnya.

Bukan kali ini saja, kata Ginting, kritikan Rocky berujung pada kontroversi publik yang berimbas pada persoalan hukum. Rocky memang selalu menekankan pentingnya kritik, karena kritik mempunyai pengertian pada dataran konseptual maupun realitas.

“Inilah yang disebut dialektika, karena setiap argumen harus dikritik dengan argumen lain yang berlawanan. Tesa berhadapan dengan antitesa, sehingga melahirkan sintesa. Penguasa membuat tesa, Rocky hadir sebagai antitesa terhadap penguasa, sehingga akan muncul sintesa sebagai pendidikan politik bagi publik,” tuturnya

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas tersebut pun berujar, bahwa proses tesa dilawan antitesa melahirkan sintesa politik harus tumbuh dalam iklim demokrasi, termasuk di Indonesia. Tanpa kritik, maka kekuasaan akan jauh dari keseimbangan. Sebaliknya, tanpa keseimbangan kekuasaan akan terjadi dominasi yang akan melahirkan kejahatan politik.

“Jadi Rocky merasa perlu menghadirkan kritisisme tersebut di ruang publik, baik di media massa, media sosial maupun di ajang diskusi. Kalau pun Rocky dianggap tidak sopan atau kasar, tapi dia tidak layak dipenjarakan,” paparnya.

Terakhir, apabila karena ucapannya yang sangat kritis dan dianggap menghina penguasa, lalu Rocky harus dipenjarakan, maka dunia politik akan melihat Indonesia sebagai negara yang mengalami kemunduran demokrasi.

“Demokrasi kerap menghasilkan dialektika dan kegaduhan di ruang publik. Kritik politik adalah anak kandung demokrasi. Kita tidak boleh membunuh Rocky dengan memenjarakannya, karena bertentangan dengan alam demokrasi. Jika itu terjadi, dunia akan menertawakan kehidupan politik Indonesia,” pungkasnya.