HOLOPIS.COM, JAKARTA – Polemik pondok pesantren Al-Zaytun yang sampai saat ini masih bergulir, seolah mengingatkan publik terkait ancaman kelompok Negara Islam Indonesia (NII).

Dugaan afiliasi antara ponpes yang berlokasi di Indramayu, Jawa Barat itu dengan jaringan NII sejauh ini telah diungkap oleh banyak pihak. Hal itu tentu menjadi hal yang perlu menjadi perhatian bersama, mengingat NII merupakan gerakan terorisme tertua di Indonesia.

Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), M Najih Arromadloni menyampaikan, bahwa keterkaitan Al Zaytun dengan NII sebetulnya adalah suatu fakta sejarah yang tidak bisa dibantah lagi.

Dia menyebut, saksi dan informasi terkait hal tersebut sudah sangat banyak. Namun dalam melakukan penindakan terhadap gerakan seperti NII ini menemui kendala. Kendala itu tak lain karena dicabutnya Undang-Undang Subversif.

“Dulu ketika ada Undang-Undang Subversif, mungkin bisa ditindak dengan itu. Sekarang kan sudah tidak ada, yang ada adalah Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme,” kata Najih dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (13/7).

Untuk itu, Najih menyarankan agar NII dimasukkan dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, atau DTTOT. Sebab menurutnya, NII adalah pangkal dari gerakan-gerakan terorisme di Indonesia.

Semua kelompok teror, kata Najih, merupakan turunan dari gerakan NII, karena hampir seluruh kasus terorisme di Tanah Air bermuara ke kelompok NII.

“Karena itu, supaya NII ini bisa dijangkau dengan undang-undang yang baru, NII harus dimasukkan ke dalam DTTOT,” jelasnya.

Najih memandang, aparat keamanan di Indonesia sudah mengantongi data-data terkait sebaran jaringan NII di Indonesia. Namun yang menjadi akar masalahnya adalah payung hukum.

Kewenangan aparat keamanan adalah melaksanakan produk hukum, namun untuk perancangan dan pembuatan hukum sendiri itu merupakan ranah dari eksekutif dan yudikatif.