HOLOPIS.COM, JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), mengungkapkan adanya penurunan intensitas serangan teror di Indonesia.
Menurut Kepala BNPT RI, Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel, hal tersebut dikarenakan perubahan pola pergerakan sel teroris dan masifnya penindakan oleh aparat penegak hukum.
Hal tersebut disampaikan Rycko, dalam acara bedah buku Radikalisme, Terorisme, dan Deradikalisasi di Indonesia karya As SDM Polri Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dan anggota Kompolnas Mohammad Dawam pada Rabu (12/7) di Jakarta.
“Sel-sel terorisme berubah pola gerakannya dari yang hard jadi soft approach, di atas permukaan mereka menggunakan jubah agama, di bawah permukaan mereka melakukan gerakan ideologis secara masif dan terstruktur,” jelas Komjen Pol Rycko dalam keterangan yang dikutip Holopis.com, Kamis (13/7).
Jenderal polisi bintang tiga tersebut menambahkan, bahwa penurunan intensitas serangan terorisme ini sudah terjadi sejak tahun 2018 sampai tahun 2022. Ia pun mengatakan, bahwa kelompok yang menganut paham kekerasan tidak lagi secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya lewat serangan fisik.
Sekarang ini kata Rycko, kelompok tersebut lebih memilih untuk melakukan pendekatan lunak yang dibungkus dengan narasi dan simbol keagamaan. Bahkan, apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut mulai mempengaruhi masyarakat. Bahkan tidak sedikit masyarakat, yang akhirnya percaya dan secara sadar setuju untuk melakukan kekerasan atas nama agama.
Melihat hal tersebut, perwira tinggi Polri yang pernah menjabat sebagai Kapolda Sumatera Utara dan Kapolda Jawa Tengah tersebut kembali menegaskan kepada masyarakat, bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi, termasuk Islam.
“Tidak ada agama satu pun yang mengajarkan tentang kekerasan, yang tidak bisa menerima perbedaan,” tegasnya.
Terakhir, Komjen Pol Rycko mengatakan, bahwa untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme khususnya di Indonesia, kuncinya yakni kerja sama dari seluruh unsur di negeri ini yang harus terlibat aktif dalam pencegahan. Baik unsur aparat, pemerintah, dan masyarakat secara luas.
“Dalam menghadapi masalah atau fenomena sosial seperti ini, kami tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, multi-stakeholder collaboration is a must, semua berkolaborasi,” pungkasnya.