HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menko Polhukam Mahfud MD telah membentuk tim percepatan reformasi hukum yang akan ditugaskan melakukan berbagai upaya evaluasi dan rekomendasi untuk kementerian dan lembaga dalam menuntaskan berbagai persoalan yang mereka hadapi, khususnya terkait dengan penanganan hukum yang selama ini tersendat.
“Hari ini saya memimpin rapat yang diberi tajuk kick of meeting tim percepatan reformasi hukum. Kemenko Polhukam telah mengeluarkan surat keputusan Menko Polhukam Nomor 63 tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum yang ditandatangani 23 Mei 2023,” kata Mahfud MD dalam keterangannya di kantor Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, seperti dikutip Holopis.com, Jumat (9/6).
Dalam konstruksinya, tim ini akan terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari pengarah, ketua, wakil ketua, sekretaris serta 4 (empat) kelompok kerja.
Untuk pokja pertama adalah kelompok kerja reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum yang terdiri dari 14 orang. Kemudian yang kedua adalah, kelompok kerja reformasi hukum sektor agraria dan sumber daya alam yang berisi 11 orang. Lalu nomor tiga adalah, kelompok kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi sebanyak 14 orang, dan keempat adalah, kelompok kerja reformasi sektor perundang-undangan sebanyak 11 orang.
“Anggota Tim ini berasal dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi dan tokoh masyarakat yang memiliki kredibilitas (artinya) bisa dipercaya, kemampuan (alias) kapabilitas sesuai bidang kepakaran masing-masing,” ujarnya.
Mahfud mengatakan, tim percepatan reformasi hukum akan bekerja sekurang-kuranngnya sampai akhir tahun 2023 ini.
“Tim ini memiliki masa kerja berdasar SK ini sampai 31 Desember 2023, dan nantinya sesuai dengan kebutuhan bisa saja diperpanjang dengan keputusan Menko yang baru,” terang Mahfud.
Dalam kesempatan itu, Menko Mahfud MD memberikan penjelasan alasan mengapa tim percepatan reformasi hukum tersebut harus dibentuk. Latar belakangnya adalah, karena secara hukum terdapat berbagai permasalah hukum yang ditemukan di sektor peradilan dan penegakan hukum,
“Seperti kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum Hakim Agung, padahal putusannya sudah inkrakht,” tandasnya.
Lalu, adanya permasalahan sektor agraria dan sumber daya alam yang di dalamnya rentan adanya penyelewenangan hukum oleh mafia pertanahann dan pertambangan, seperti sertifikat ganda, beralihnya sertifikat tanpa diketahui oleh yang punya, berpindahnya saham kepada seseorang tanpa transaksi sah, yang memang kasusnya pun banyak sekali terjadi.
“Ketika ada masalah digiring ke pengadilan baik pengadilan perdata maupun pidana, dan biasanya mafianya yang menang atau menentukan jalannya hukum itu sendiri,” ucapnya.
Baca selengkapnya di halaman kedua.