HOLOPIS.COM, JAKARTA – Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah menyayangkan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materil yang dilakukan oleh salah satu ketua KPK Nurul Ghufron soal masa jabatan di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Dimana di pasal 34 UU KPK, masa jabatan pimpinan KPK adalah 4 (empat) tahun. Hal ini akhirnya digugat agar masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 (lima) tahun. Gugatan itu dilayangkan dengan nomor perkara 112/PUU-XX/2022.

Kritikan pertama adalah soal dissenting opinion yang terjadi cenderung menunjukkan persoalan tersendiri di lingkaran Mahkamah Konstitusi. 5 (lima) hakim setuju dan 4 (empat) hakim tidak setuju.

“Putusan MK atas uji materi UU KPK terkait usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK, dengan dissenting opinion signifikan 5 banding 4, semakin menegaskan keterbelahan pandangan di tubuh MK,” kata Insiyah dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Sabtu (27/5).

Sekalipun dissenting atau concurring opinion suatu hal biasa, Insiyah menganggap bahwa tren keterbelahan yang berulang menggambarkan bahwa tubuh MK semakin rapuh, rentan dan mengalami pengikisan kenegarawanan hakim dan integritas kelembagaan.

Ditambah lagi, ia memiliki kekhawatiran tersendiri bahwa keterbelahan itu telah membangun persepsi bahwa kehendak politik MK jauh lebih dominan menjadi variabel dalam pengambilan putusan dibanding i’tikad menegakkan keadilan konstitusional.

“Sebagai kumpulan para negarawan dan penafsir tunggal Konstitusi RI, cara pengambilan putusan yang tidak bulat di MK sungguh mengkhawatirkan. Tidak bisa dibayangkan kalau isu-isu konstitusional dan kenegaraan selalu didekati dengan matematika jumlah suara para hakim dengan keterbelahan pandangan yang berulang,” ujarnya.

Dalam perspektif kajian SETARA Institute, Insiyah menerangkan bahwa sejak awal memeriksa permohonan Nurul Gufron, MK dinilai sudah memaksakan diri melanjutkan perkara tersebut.

Bahkan jika merujuk pada kasus-kasus sebelumnya, soal batasan usia, batasan syarat menduduki jabatan, oleh MK dikategorikan sebagai opened legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang artinya kewenangan pengaturan ada pada organ pembentuk UU yakni DPR dan Presiden.

“Jadi isu usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK bukanlah isu konstitusional melainkan kebijakan hukum terbuka. Hanya saja MK tidak konsisten dalam memperlakukan norma-norma sejenis ini,” paparnya.

Di sisi lain, Insiyah juga merespons terhadap apa yang disampaikan oleh Juru Bicara MK, Fajar Laksono pada hari Jumat (26/5) kemarin dengan mengacu pada pertimbangan putusan perkara nomor 112/PUU-XX/2022, bahwa putusan itu mengikat dan berlaku bagi kepemimpinan KPK yang sekarang menjabat, adalah tafsir juru bicara bukan bunyi putusan. Oleh karena itu kaa dia, apa yang disampaikan oleh Fajar Laksono bisa diabaikan.

“Betul bahwa putusan MK final dan mengikat dan berlaku saat diucapkan, tetapi obyek uji materi di MK adalah norma abstrak dan tidak ditujukan untuk menyelesaikan kasus konkret, seperti yang diminta Nurul Gufron. Apalagi sifat putusan ini adalah putusan yang sifatnya non-self executing, yang tidak serta merta berlaku untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini,” terang Insiyah.

Baca selanjutnya di halaman kedua