HOLOPIS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari mengaku heran dengan penjelasan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono yang mengatakan, bahwa putusan majelis hakim yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK hanya untuk periode saat ini, yakni periode kepemimpinan Firli Bahuri.
Padahal putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK, Anwar Usman tidak ada kalimat yang mempertegas bahwa putusan yang mempertegas perpanjangan masa jabatan dari empat tahun menjadi lima tahun tersebut hanya untuk periode saat ini.
“Tanpa kalimat yang tegas bahwa putusan ini berlaku untuk periode saat ini ataupun tanpa adanya putusan atas aturan peralihan UU KPK, maka putusan ini dapat diartikan sebagai putusan yang berlaku sejak diputuskan dan ke depan, yakni untuk pemilihan pimpinan KPK berikutnya,” kata Taufik dalam keterangannya, Jumat (26/5) yang dikutip Holopis.com.
Pun seharusnya, Menurut Taufik, putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK itu juga berlaku untuk periode berikutnya.
“Karena putusan tidak berlaku surut, maka semestinya pemberlakuannya untuk periode mendatang karena keputusan pengangkatan pimpinan KPK periode ini 3,5 tahun yang lalu adalah untuk masa jabatan selama empat tahun,” ujarnya.
Taufik kemudian menilai, keterangan Fajar Laksono yang menyebut putusan MK memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK berlaku untuk pimpinan KPK periode saat ini bukanlah hukum.
Oleh sebab itu, kata dia, pertimbangan mengenai berlakunya Putusan 112/PUU-XX/2022 harus merujuk pada isi putusan, baik amar maupun pertimbangannya.
Adapun pertimbangan hukum yang menjadi rujukan Jubir MK tidak memuat kalimat tegas bahwa Putusan 112/PUU-XX/2022 berakibat pada perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK periode saat ini.
“Yang menjadi rujukan Jubir MK adalah paragraf 3.17 halaman 117 yang terkait kesegeraan membuat putusan dengan mempertimbangkan segera berakhirnya masa jabatan agar memperoleh kepastian hukum dan kemanfaatan berkeadilan,” tuturnya.
Menurutnya, dalam sebuah perumusan undang-undang pemberlakuan norma baru di tengah suatu kondisi hukum yang berjalan, seperti soal masa jabatan dalam suatu periode, maka dirumuskan dalam peraturan peralihan.
Taufik mengingatkan bahwa dasar kewenangan dan fungsi MK merupakan negative legislator, yaitu hanya menyatakan suatu norma undang-undang sejalan dengan konstitusi atau melanggar konstitusi.
“Yang menjadi masalah adalah MK yang semestinya sebagai negative legislator tapi dalam putusan ini bertindak sebagai positive legislator, akibatnya terdapat norma baru ciptaan putusan MK,” ucapnya.
Oleh karena itu, ujarnya, Putusan 112/PUU-XX/2022 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat atas masa jabatan pimpinan MK dari empat tahun menjadi lima tahun telah menempatkan MK sebagai positive legislator dan menggeser makna dari model putusan bersyarat menjadi putusan yang memuat norma baru.
“Karena itulah jika model putusan inkonstitusional bersyarat maupun putusan konstitusional bersyarat maka harus dibatasi dengan maksud menafsirkan bagaimana menerapkan norma yang diuji, bukan menambah norma baru,” tandas Taufik.