Jadi Narapidana Korupsi

Dalam memimpin partai berlambang Mersi itu, ternyata perjalanan Anas tidak mulus. Pasalnya, diduga ada operasi pendongkelan Anas dari partai yang didirikan oleh Vence Rumangkang dan kawan-kawannya itu.

Berawal dari rilis survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 3 Februari 2013, dimana diklaim adanya jajak pendapat yang menyimpulkan anjloknya elektabilitas Demokrat hingga 8 persen.

Hasil rilis survei ini langsung direspons oleh Sekretaris Dewan Pembina yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI kala itu, Jero Wacik yang akhirnya mengadakan jumpa pers di kediaman pribadinya pada hari yang sama. Konferensi pers itu berisi meminta kepada Presiden SBY selaku Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi untuk turun tangan menyelematkan partai dari turunnya elektabilitas tersebut. Permintaan Wacik tersebut diikuti oleh sejumlah petinggi Demokrat lainnya. Anggota Dewan Pembina yang juga Menteri Koperasi dan UKM RI Syarief Hasan juga menyatakan hal yang sama. Dimana ada potensi Partai Demokrat terancam tidak masuk di dalam Presidential Threshold.

Lalu, ada tanggal 4 Februari 2013 dalam konferensi pers di Jeddah, Arab Saudi, Presiden SBY menyatakan akan meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Menurut SBY, ia diminta turun tangan bukan semata-mata karena dirinya adalah Dewan Pembina, namun lebih karena ia adalah penggagas dan pendiri partai.

Kabar anjloknya suara Partai Demokrat disebut-sebut berasal dari nyanyian Nazaruddin yang merupakan Bendahara Umum Partai Demokrat di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anas disebut-sebut oleh Nazaruddin sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus Hambalang. Anas juga disebut-sebut oleh Nazar sebagai pengendali Permai Group, sebuah holding perusahaan yang ikut dalam tender-tender proyek APBN.

Pada 22 Februari 2013, KPK menetapkan Anas sebagai tersangka atas atas dugaan gratifikasi dalam proyek Hambalang. Keesokan harinya, pada 23 Februari 2013, Anas menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam sebuah pidato yang disampaikan di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta.

Dalam kasus ini, Anas Urbaningrum adalah terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dan proyek-proyek lainnya kurun waktu 2010-2012. Ia terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP, pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003.

Vonis Hukuman Anas

Pada bulan September 2014, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis 8 tahun penjara kepada Anas. Selain itu Anas diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan selama tiga bulan dan hakim juga memerintahkan jaksa menyita tanah di Pondok Ali Ma’sum, Krapyak, Yogyakarta. Tanah seluas 7.870 meter persegi itu disebut merupakan hasil korupsi yang dilakukan Anas. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa KPK agar Anas divonis 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dollar AS. Atas putusan ini Anas menyatakan banding. Hingga pada bulan Februari 2015, majelis hakim banding memutus hukuman Anas menjadi 7 tahun penjara atau turun 1 tahun dibandingkan vonis sebelumnya dan denda sebesar Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Aset tanah di Krapyak dikembalikan ke pesantren yang dipimpin oleh mertuanya, Attabik Ali untuk kepentingan santri. Atas putusan ini Anas mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.