Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Rezim Joko Widodo (Jokowi) dinilai telah mengkhianati agenda reformasi 1998. Untuk itu, 25 tahun reformasi pada Mei 2023 harus menjadi momentum perlawanan rakyat.

Aktivis ’98 dari Forum Kota (Forkot), Niko Adrian, menilai, harapan mahasiswa dan rakyat setelah berhasil menumbangkan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 adalah pemberantasan praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), peningkatan kesejahteraan, penguatan civil society dan penegakan supermasi hukum seperti jauh panggang dari api.

“Selama 25 tahun perjalanan reformasi 1998 semakin mengarah pada demokrasi liberal dan transaksional. Sementara peningkatan kesejahteraan, penurunan harga kebutuhan pokok, pemberantasan KKN, penguatan civil society, dan penegakan supermasi hukum semakin jauh panggang dari api,” sesal Niko saat berbicara dalam acara Konsolidasi Demokrasi Aktivis ’98 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Senin (20/3).

Elite politik yang saat ini berkuasa, menurut Niko, justru cenderung berkhianat terhadap cita-cita reformasi dan hanya membawa kepentingan oligarki untuk penguasaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kebijakan pemerintah.

“Negara saat ini hanya menjadi alat segelintir orang yang menguasai ekonomi sehingga peran negara selalu abai untuk hadir ditengah kepentingan kesejahteraan rakyat, negara justru selalu hadir di tengah kepentingan oligarki. Hal ini menyebabkan watak pemerintah saat ini cenderung mengarah pada otoritarianisme bahkan mendekati ke watak fasisme,” tutur alumnus Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini.

Belum lagi, sambung Niko, pemerintah saat ini terkesan menampilkan wajah yang rakus untuk terus berkuasa. Upaya-upaya mempertahankan kekuasaan demi melindungi kepentingan oligarki semakin terlihat nyata.

“Wacana penundaan pemilu, dan perpanjangan 3 periode terus bergulir di ruang publik untuk mempengaruhi kesadaran publik agar melegitimasi pengamputasian demokrasi dan konstitusi, dan ini jelas mengkhianati tuntutan reformasi 1998 yaitu pembatasan masa jabatan presiden,” ungkap Niko.

Pada kesempatan yang sama, aktivis 98 dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), Ubedilah Badrun, berpendapat, cita-cita reformasi seperti pemberantasan KKN, demokrasi, penuntasan pelanggaran HAM, penegakan supremasi hukum, dan kesejahteraan rakyat hingga kini masih sebatas mimpi.

“Datanya menunjukkan bahwa korupsi merajalela, indeks korupsi anjlok dengan skor 34, Indeks Demokrasi kita juga masih di bawah 70 atau flawd democracy atau demokrasi yang cacat,” tutur Ubedilah.

Selain itu, lanjut Ubedilah, indeks HAM Indonesia rapotnya juga masih merah, yakni di bawah 3,5. Bahkan kata Ubedilah, pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar 5 persen, di bawah Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

“Jumlah orang miskin dan pengangguran terus bertambah. Rakyat menderita tetapi pejabat kekayaanya bertambah 70,3 persen. Para oligarki makin berkuasa bahkan ada 0,2 persen warga negara menguasai 72 persen luas tanah di Indonesia. Rezim ini juga berwajah otocratic legalism, otoriter berselimut regulasi,” imbuh analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.

Dengan demikian kata Ubedilah, situasi tersebut harus diubah, baik dengan perbaikan sistem, maupun dengan cara lebih mendasar, misalnya dengan jalan revolusioner.

“Dengan jalan itu maka bulan Mei 2023 ini di usia 25 tahun reformasi ini bisa menjadi momentum perlawanan rakyat, karena rakyat sudah muak dengan korupsi yang merajalela dan muak dengan janji-janji manis politik,” tegas Ubedilah.