HOLOPIS.COM, JAKARTA – Seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Depok berhasil memperjuangkan haknya untuk mendapatkan pesangon melalui persidangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Subuh Widhyono seorang dokter spesialis anastesi yang telah bekerja selama 17 tahun mendapat hak pesangonnya. Namun, usahanya untuk mendapatkan haknya melalui persidangan PHI ini menemui jalan panjang saat mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Bandung.
“Awalnya beberapa dokter melakukan gugatan di pengadilan tapi tidak ada satu pun yang dikabulkan. Saat proses persidangan PHI Pengadilan Negeri Bandung hakim masih meraba-raba apakah dokter ini pekerja atau bukan sehingga mereka itu menafsirkan yang namanya pekerja itu harus ada kontrak,” kata kuasa hukum dokter Subuh, Odie Hudiyanto kepada Holopis.com di Jakarta, Senin (13/3).
Dalam gugatannya yang bernomor 111/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Bdg, hakim menolak seluruh gugatan tersebut. Namun, usaha Subuh untuk mendapatkan haknya tak berhenti sampai di situ.
Saat gugatan itu ditolak dalam sidang PHI, terdapat multitafsir soal profesi kedokteran. Namun, perbedaan tafsir profesi kedokteran itu terjawab saat Subuh saat mengajukan kasasi di Mahkamah Agung.
“Mahkamah Agung RI melalui putusan nomor
36K/Pdt.Sus-PHI/2023 tertanggal 31 Januari 2023 menyatakan dokter termasuk pekerja yang tunduk
pada aturan ketenakerjaan,” terang Odie.
Menurut Odie, Majelis Hakim di PHI Bandung kaku menafsirkan jika seseorang bisa dikategorikan pekerja apabila memiliki jam kerja sebanyak 40 jam dalam seminggu.
“40 jam kerja dalam seminggu adalah aturan maksimal. Kelebihan jam kerja di atas 40 jam itu dihitung sebagai kerja lembur. Sementara jika seorang dokter bekerja kurang dari 40 jam seminggu bukan masalah dan tak ada larangan atau pelanggaran hukum jika jam kerja kurang dari 40 jam seminggu,” jelasnya.
Atas perbedaan tafsir itu, Majelis Hakim Kasasi akhirnya sependapat dengan uraian yang di sampaikan dalam memori kasasi Mahkamah Agung.
“Karena selama ini pekerjaan dokter itu bias, apakah dia pekerja apakah dia sebagai profesional atau bukan? Namun dipatahkan melalui putusan MA bahwa dokter masuk dalam kategori pekerja,” imbuhnya.
Odie mengungkapkan, perjanjian kerja antara Subuh dan pihak RSIA Tumbuh Kembang Depok terjalin sejak 2007. Sebagai dokter anastesi, Subuh baru melakukan praktik jika diperintahkan pihak rumah sakit atau bersifat by project.
Namun, kerja sama selama 12 tahun itu terhenti akibat pihak rumah sakit memutuskan tak melakukan kerja sama dengan Subuh dengan alasan efisiensi.
Dalam perjalanannya, Subuh telah bekerja selama 12 tahun dengan RSIA Tumbuh Kembang Depok. Dalam setiap pekerjaannya, ia mendapat upah apabila pihak rs memerlukan jasanya dalam setiap tindakan medis.
“Sejak bekerja di tahun 2007 hingga 2019 itu mendapat upah sebesar 35 Juta per bulan. Dan itu diakui pihak rs bahwa dokter Subuh bekerja selama 2007-2019 sehingga itu menjadi bukti di Pengadilan,” katanya.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi berpendapat jika Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Tumbuh Kembang Depok telah mengakui dan membenarkan bahwa dokter Subuh Widhyono telah bekerja sebagai dokter spesialis anastesi.
Adapun pekerjaan yang dilakukan adalah memberikan pelayanan medis bidang
anastesiologi kepada pasien terhitung dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2019 dan memperoleh upah setiap bulannya sebesar Rp35.000.000.
Atas pertimbangan itu, pihak RSIA Tumbuh Kembang Depok wajib membayar uang pesangon ditambah uang masa kerja dengan total nilai nominal Rp 455.000.000.