Selanjutnya, kabar tersebut disebarluaskan ke luar negeri melalui Birma dan diterima oleh pemancar All Indian Radio hingga akhirnya sampai kepada perwakilan RI di PBB, New York, Amerika Serikat.
Peristiwa itu juga disebarluaskan melalui jaringan radio pemerintahan RI melalui Wonosari dan Balong sampai ke stasiun radio PDRI di Sumatera.
Mengetahui kegagalan pasukan dalam menghadapi Serangan Umum 1 Maret 1949, Jenderal Meyer Kolonel Van Langen pun meminta sultan Hamengkubuwono IX untuk menghentikan bantuannya terhadap para gerilyawan dan TNI. Namun, permintaan tersebut ditolak.
Akibat dari Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen yang menguasai wilayah Yogyakarta mengadakan serangan balasan terhadap kedudukan TNI dan para gerilyawan.
Serangan yang pertama dilancarkan pada 10 Maret 1949 terhadap Lapangan Udara Gading yang berada di Wonosari. Selain manuver, serangan itu melibatkan tentara payung dan 20 buah pesawat Dakota.
Menurut pihak Belanda, serangan terhadap Wonosari itu merupakan soal hidup dan mati. Untuk itu, Belanda melibatkan juga redaktur Majalah Pierreboom, tetapi hasilnya nihil karena tidak adanya pemusatan TNI di Wonosari seperti yang mereka kira.
Belanda selanjutnya selalu meningkatkan patrolinya di daerah-daerah yang dikuasai oleh TNI maupun para gerilyawan, tetapi selalu mendapatkan perlawanan yang kuat.
Salah satu contohnya adalah konvoi Belanda yang dihadang oleh satuan TP Batalyon 151 Peleton Zahid Husein pada 15 Maret 1949. Konvoi itu melewati Serut, Kelurahan Madurejo, Kecamatan Prambanan. Pertempuran itu menyebabkan sebuah bren carrier (angkutan serbaguna lintas medan) milik Belanda meledak.
Pembuktian kepada Dunia
Serangan umum 1 Maret 1949 membawa arti penting bagi posisi Indonesia di mata internasional. Selain membuktikan eksistensi TNI yang masih kuat, Indonesia memiliki posisi tawar melalui perundingan di Dewan Keamanan PBB.
Perlawanan singkat tersebut turut mempermalukan propaganda Belanda yang telah mengklaim bahwa kedudukan Indonesia sudah lemah.