HOLOPIS.COM, JAKARTA – Peringatan hari lahir (harlah) Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 2023 jatuh pada tanggal 31 Januari berdasarkan kalender masehi. Namun jika dilihat dari penanggalan hijriah, peringatan harlah NU jatuh pada 7 Februari (16 Rajab).

Di tahun 2023 ini, organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota mencapai 59,4 persen umat muslim di Indonesia itu akan genap berusia 100 tahun atau 1 abad.

Lantas seperti apa sejarah organisasi Islam Nahdlatul Ulama tersebut? Berikut ulasannya :

Organisasi Islam Pra-NU

NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Kota Surabaya. Pendirinya adalah KH. Hasyim Asy’ari yang juga menjadi tokoh penting di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Setelah didirikan, beliau menjabat sebagai Rais Akbar atau pemimpin organisasi.

Sebelum tahun 1926, sejatinya sudah ada organisasi-organisasi Islam yang berdiri. Organisasi itu seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang lahir pada tahun 1916.

Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.

Dari situ kemudian berdiri Nahdlatut Tujar, (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu menjadi basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tuijar itu, maka Taswirul Afkar, selain tanpil sebagai kelompok studi. Juga, menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Organisasi-organisasi tersebut merupakan embrio cikal bakal sejarah organisasi NU di kemudian hari.

Menolak Wahabi

Penolakan paham wahabi yang hendak diterapkan Raja Ibnu Saud di Mekah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama.

Kala itu, Raja Saud hendak menerapkan wahabi sebagai asas tunggal di Mekah. Raja Saud juga hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-lslam, yang selama ini menjadi tenpat berziarah banyak umat Muslim di dunia.

Mereka beranggapan, bahwa praktik ziarah itu sebagai bid’ah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia. Baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.0.S. Tjokroaminoto.

Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Karena sikap yang berbeda itu, kalangan pesantren di keluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak trlibat sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Komite Hijaz

Terdorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban. Maka Ulama-Ulama dari kalangan pesantren di Nusantara membuat delegasi sendiri dengan nama Komite Hijaz. KH Abul Wahab Hasbullah sebagai ketua Komite Hijaz.

KH Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghanaim Al-Amiri Al-Mishri menyampaikan materi tuntutan yang akan disampaikan kepada Raja Ibnu Sa’ud adalah sebagai berikut:

Meminta kepada Raja lbnu Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat: Maliki. Hanafi, Syafi’i dan Hambali.

Memohon tetap diramaikannya tempat- tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk mesjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizuran dan lain-lain.

Mohon agar disebarluaskan keseluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal-ihwal haji; baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang syekh.

Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz; ditulis sebagai undang- undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang.

Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Sa’ud; dan sudah pula menyampaikan usu-usul Nahdlatul Ulama Perkembangan NU (Bisma satu Surabaya 1999)).

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia. Raja lbnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing.

Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab. Hasilnya, mampu menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Sejarah Berdirinya NU

Berangkat dari Komite Hijaz dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc. Para kalangan pesantren memandang perlunya untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.

Setelah Komite Hijaz, sejarah organisasi NU semakin menemukan titik terang pendiriannya. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).

Sejak saat itu, tanggal 31 Januari atau 16 Rajab selalu diperingati sebagai harlah Nahdlatul Ulama, organisasi yang didirikan oleh Hadlatussyekh KH Muhammad Hasyim Asya’ari.