Kamis, 28 November 2024
Kamis, 28 November 2024

Kerajaan Keluarga Model Baru Jokowi Bersembunyi di Balik Politik Elektoral

Dalam demokrasi siapapun boleh mengikuti kontestasi politik elektoral melalui pemilihan umum, termasuk mereka yang haus dan rakus kekuasaan sehingga anak dan keturunanyapun ingin terus mendapatkan kekuasaan. Dalam situasi seperti itu wajah dinasti politik atau kerajaan keluarga bisa bersembunyi di balik politik elektoral.

Maknanya ada semacam model baru keluarga kerajaan politik di era demokrasi liberal dan digital ini. Kesanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu tetapi motif sesungguhnya adalah membangun kerajaan keluarga agar keturunanya terus berkuasa dan menguasai sumber daya untuk kelangsungan kekuasaan diri dan keluarganya.

Secara substantif politik kerajaan keluarga itu kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Prosesnya kini bisa saja melalui pemilihan umum, tidak lagi turun-temurun seperti kerajaan tetapi perilaku politiknya mirip kerajaan.

Jadi jika Gibran, Kaesang, dan lain-lainya keluarga Jokowi untuk maju mengikuti kontestasi secara politik liberal secara aturan boleh tetapi mereka bisa masuk kategori model baru politik kerajaan keluarga.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarga: Foto: Instagram Matanadjwa
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarga: Foto: Instagram Matanadjwa

Jika kita menggunakan terminologi budaya politik Jawa ada diksi yang sering kali digunakan di arena kekuasaan yang penuh hasrat yaitu politik aji mumpung. Yaitu suatu politik kekuasaan yang memanfaatkan posisi sosial dan politiknya untuk terus berkuasa baik diri maupun keluarganya. Jadi mumpung ayahnya berkuasa maka dimanfaatkan agar anak dan menantunya juga berkuasa.

Apa yang bisa membatasi orang-orang yang haus kekuasaan? Hanya ada dua yaitu kesadaran etik politik dan tekanan publik. Jadi sesungguhnya secara etik politik praktik haus kekuasaan itu adalah praktek yang dibenci dan ditolak oleh kesadaran etik. Jika tetap memaksakan diri maka itu maknanya kehilangan kesadaran etik karena aji mumpung.

Pertanyaanya, mengapa seorang penguasa ingin anak-anaknya berkuasa? Dalam sejarah politik hal itu terjadi seringkali karena sejumlah faktor, di antaranya yang sangat menonjol karena rasa takut (takut kehilangan pengaruh dan takut terbongkar masalahnya oleh penguasa baru) serta karena nafsu untuk menumpuk kekayaan. Dalam kasus Indonesia saat ini apakah karena hal itu? Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu.

Temukan kami juga di Google News lalu klik ikon bintang untuk mengikuti. Atau kamu bisa follow WhatsaApp Holopis.com Channel untuk dapatkan update 10 berita pilihan dari redaksi kami.

berita Lainnya
Related

Mengenal 7 Langkah Proses Audit Kepabeanan dan Cukai

Apabila perusahaan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan di...

Solusi atau Beban? Analisis Perencanaan Kebijakan Cukai Plastik di Indonesia

Di era modern, masalah lingkungan semakin menjadi sorotan, khususnya...

Mengadaptasi Kebijakan di Irlandia : Potensi dan Tantangan Cukai Plastik di Indonesia

Laporan dari McKinsey and Co dan Ocean Conservancy (2019)...
Selamat Bekerja Prabowo Gibran
Selamat Bekerja Prabowo Subianto
Bawaslu RI 2024

Berita Terbaru