HOLOPIS.COM, JAKARTA – Saat ini kancar perpolitikan nasional tengah dihebohkan dengan adanya pendaftaran uji materill Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan mengakomodir pemilu 2024 mendatang.
Regulasi yang digugat adalah Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu. Mereka meminta agar pasal tersebut dibatalkan, sebab mencederai Undang-Undang Dasar 1945. Dimana Pasal 168 ayat 2 UU Nomor 7 tahn 2017 berbunyi ; Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Para penggugat antara lain ; Emas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Permohonan tersebut sudah didaftarkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 114/PPU-XX/2022 tertanggal 16 November 2022.
Jika seandainya majelis hakim MK mengabulkan gugatan tersebut, maka di Pemilu 2024 mendatang akan dilakukan menggunakan sistem proporsional tertutup khusus untuk para anggota dewan. Sehingga dalam pencoblosan nanti, rakyat hanya akan disodorkan dengan logo partai politik, bukan nama kader partai yang akan menduduki kursi DPR atau DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Lantas apa sih perbedaan antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup. Berikut adalah penjelasan singkatnya ;
1. Pemilu Proporsional Terbuka
Para calon akan ditampikan kepada publik untuk dinilai secara terbuka dan dipilih pun secara independen oleh masing-masing pemilik hak suara. Artinya rakyat Indonesia yang sudah memiliki hak suara bisa memilih secara langsung calon yang tampil di dalam kertas suara yang akan mereka coblos.
Namun sistem tersebut juga bisa memberikan peluang besar bagi partai-partai baru untuk tampil, karena semua memiliki hak yang sama. Serta interaksi pemilih dengan kader partai bisa lebih intens lagi.
Lantas apa sih efek samping dari sistem proporsional terbuka, yakni ; melemahnya partai politik lantaran mereka akan lebih fokus mengdepankan para figur yang ada, sehigga sebagai organisasi mereka kurang sosialisasi tentang partai mereka sendiri.
Kemudian efek samping dari sistem pemilu proporsional terbuka pun memberikan ruang untuk para kader partai saling bersaing khususnya di internal masing-masing.
Sekaligus memunculkan kesan bahwa partai hanya akan mencalonkan seseorang karena faktor kebutuhan pengumpulan suara saja.
2. Pemilu Proporsional Tertutup
Secara umum, proporsional tertutup merupakan lawan kalimat proporsional terbuka. Dimana calon yang ditampilkan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat (konstituen). Kelulusan mereka murni merupakan penyaringan langsung dari partai politik, bukan rakyat lagi.
Lantas apa dampak buruk dari proporsional tertutup. Pertama, bisa mengurangi intensitas kader partai dengan pemilih. Dan yang paling dirugikan adalah partai politik baru yang masih belum banyak dikenal publik untuk bisa semakin dikenal.
Namun untuk kelebihan dari pemilu proporsional tertutup adalah bisa semakin memperkuat partai politik untuk melakukan kaderisasi. Lalu bisa juga memberikan kesempatan yang jauh lebih luas kepada para politisi muda untuk berkarya, serta bisa semakin menekan angka praktik politik uang.
Dalam konteks polemik Pemilu Proporsional Tertutup tersebut, saat ini sudah ada 8 (delapan) fraksi di DPR RI yang menyatakan menolak. Mereka antara lain ;
1. Partai Gerindra
2. Partai Kebangkitan Bangsa
3. Partai Persatuan Pembangunan
4. Partai Demokrat
5. Partai NasDem
6. Partai Keadilan Sejahtera
7. Partai Golongan Karya
8. Partai Amanat Nasional
Sementara itu, PDI Perjuangan memilih untuk mendukung sistem Pemilu Proporsional Tertutup.
Sikap politik PDIP ini disampaikan langsung oleh Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto saat ditemui di kantor DPP PDIP Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/1).
“Jadi ada penghematan (dengan sistem proporsional tertutup), sistem menjadi lebih sederhana, dan kemudian kemungkinan terjadinya manipulasi menjadi kurang, dan dulu kan begitu banyak penyelenggara pemilu yang karena terlalu capek akibat pemilu yang begitu kompleks itu nanti semua bisa dicegah,” kata Hasto.
Alasan politis Hasto adalah, yang paling penting PDI P ingin mendorong berbagai pihak untuk bisa berkompetisi menjadi calon anggota legislatif (caleg).
“Karena basenya adalah kompetensi. Jadi proporsional tertutup basenya adalah pemahaman mengenai fungsi-fungsi dewan, sedangkan (proporsional) terbuka adalah popularitas,” ujarnya.