K
ementerian Dalam Negeri belum lama mengeluarkan Surat Edaran Nomor 900.1.9/9095/SJ Tentang Dukungan dan Fasilitasi Pemerintah Daerah Dalam Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2024. Surat Edaran yang diteken Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri Suhajar Diantoro itu menyebutkan sejumlah dukungan yang diberikan pemerintah daerah(Pemda), di antaranya, Pemda perlu memfasilitasi penyediaan sarana dan prasarana untuk sekretariat panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS). Selanjutnya disebutkan Pemda juga perlu menugaskan personel untuk membantu Sekretariat PPK dan PPS. Sampai disini tidak ada masalah dengan isi surat edaran tersebut.
Masalah baru muncul pada isi selanjutnya dari surat edaran tersebut. Surat edaran tersebut juga menyebutkan, kepala daerah diminta memberikan izin kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemda untuk mendaftar sebagai PPK, PPS, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), dan panitia pendaftaran pemilih (Pantarlih). Bagi sebagian rakyat Indonesia yang ingin Pemilu berintegritas, Surat Edaran Kemendagri ini sangat bermasalah.
Aparatur Sipil Negara atau ASN adalah kelompok masyarakat yang tidak sama dengan kebanyakan warga sipil lainnya di Indonesia. Keberadaan ASN diatur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Secara umum undang undang tersebut menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya seorang ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan maupun partai politik. Dengan demikian jelas bahwa ASN dilarang bergabung dalam keanggotaan partai politik.
Undang- undang tersebut juga mengatur tugas ASN adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat berdasarkan peraturan perundang- undangan. ASN juga bertugas memberikan pelayanan kepada publik secara profesional dan berkualitas serta mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ASN dan Pelanggaran Pemilu
Cerita pelanggaran Pemilu oleh ASN bukan isapan jempol belaka. Bahkan dari sisi jumlah pelanggaran yang dilakukan ASN pada saat tahapan Pemilu berlangsung jauh lebih besar dibandingkan kelompok masyarakat non ASN. Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat 990 kasus per Januari 2018 – Maret 2019. Data BKN juga menyebutkan 00,5% pelanggar netralitas ASN berstatus pegawai instansi daerah yang meliputi Provisi/Kabupaten/Kota.
Masih berdasarkan data BKN bentuk pelanggaran Pemilu yang dilakukan ASN juga beragam, pelanggaran terbanyak melalui media sosial mulai dari menyebarluaskan gambar, memberikan dukungan, berkomentar, sampai mengunggah foto untuk menyatakan keberpihakan terhadap pasangan calon (paslon) tertentu. Selain melalui media sosial pelanggaran yang dilakukan ASN berupa dukungan secara langsung dan terbuka sehingga pelanggaran tersebut terdokumentasi oleh publik.
Sementara itu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia mencatat pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020. Pemilu 2019, Bawaslu mencatat ada 914 temuan dan 85 laporan pelanggaran netralitas ASN. Sedangkan saat Pemilihan Kepala Daerah 2020 tercatat 1.536 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.398 kasus direkomendasikan atau diteruskan ke KASN dan 53 kasus dihentikan.
Jika melihat angka-angka yang disodorkan oleh BKN dan Bawaslu pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2000 pelanggaran netralitas ASN bukanlah jumlah yang kecil. Padahal pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2000 Aparatur Sipil Negara atau ASN tidak menjadi bagian dari penyelenggaran Pemilu seperti PPK, PPS dan KPPS. Jika saat itu saja pelanggaran netralitasnya tinggi bisa dibayangkan jika ASN menjadi petugas penyelenggara Pemilu. Pelaksanaan Pemilu Berintegritas seperti kata pepatah Jauh Panggang Dari Api.
Surat Keputusan Bersama Netralitas ASN
Kamis, (22/09/2022) adalah hari bersejarah bagi Badan PengawasPemilu RI. Bagaimana tidak, pada hari itu diteken Surat Keputusan Bersama (SKB) Netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN antara Bawaslu RI, Kemendagri, Kemenpan RB, Komisi ASN, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Surat Keputusan Bersama tersebut diteken sebagai tindak lanjut dari Rapat Sinergisitas Antar Lembaga Dalam Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN yang diinisiasi oleh Bawaslu RI dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kemenpan RB), Badan Kepegawaian Nasional (BKN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) di Bogor, Selasa (23/8/2022).
Surat Keputusan Bersama Netralitas ASN laksana oase di padang gersang bagi penyelenggara Pemilu di tengah kekhawatiran banyak pihak akan netralitas ASN jelang Pemilu 2024. Kekhawatiran yang wajar dan masuk akal jika melihat rekam jejak pelanggaran atas netralitas ASN pada Pemilu 2019 lalu. Surat Keputusan Bersama Netralitas ASN menjamin semacam garansi bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung sesuai dengan asas Pemilu, yakni, Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.
Tapi sepertinya kita harus segera menelan pil pahit dan menerima kenyataan bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung tidak jauh berbeda sebagaimana Pemilu 2019. Pemilu 2024 akan kembali diwarnai dengan pelanggaran netralitas ASN. Pemicunya tidak lain, Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 900.1.9/9095/SJ Tentang Dukungan dan Fasilitasi Pemerintah Daerah Dalam Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2024. Surat Edaran ini telah menampar wajah demokratis dalam penyelenggaraan Pemilu. Surat edaran Kemendagri seolah memberikan membuka pintu masuk pelanggaran netralitas ASN.
Aroma tidak sedap langsung menyeruak menyesaki uang publik. Kecurigaan Pemilu akan berjalan tidak sesuai asas mengisi diskursus publik. Ironi terbesarnya surat edaran ini dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Lembaga negara yang bersama-sama dengan Bawaslu RI dan 3 (tiga) lembaga negara lainnya bersepakat menandatangani Surat Keputusan Bersama Netralitas ASN. Pertanyaannya ada apa dengan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Bayang Bayang Pemilu Era Orde Baru
Sejarah Republik Indonesia mencatat, selama rezim orde baru berkuasa pemilihan umum yang berlangsung semasa Presiden Soeharto adalah pengumuman yang paling jauh dari asas Pemilu, langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) bahkan asas Pemilu selama orba. Kecurangan pemerintah sangat nyata. Pemilu didesain sedemikian rupa hanya dimenangkan oleh Golkar. Mesin politik pemerintah orba yang paling berkuasa tiada tanding.
Mengutip pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD, Kecurangan pemilu saat Orde Baru dilakukan oleh pemerintah. Pemerintahan di era Orde Baru, katanya, melakukan kecurangan melalui Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memenangkan Golkar. Sekarang, pemerintah tidak ikut curang di Pemilu. Demikian ujar Mahfud MD di hadapan peserta seminar nasional di Universitas Gajah Mada.
Benar apa yang diucapkan Pak Mahfud, kita setuju karena faktanya memang demikian Pemilu yang berlangsung selama orde baru berkuasa. Secara teknis orde baru memobilisasi kekuatan birokrasi untuk memenangkan Golkar. Birokrasi yang dikerahkan bukan hanya level ASN di kecamatan atau kelurahan tapi juga guru-guru sekolah negeri. Tidak sedikit guru sekolah negeri harus ikut memeriahkan kampanye Golkar. Salah satu kunci kemenangan Golkar saat itu adalah mobilisasi
pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara secara terstruktur, sistematis dan masif.
Belajar dari sejarah, apa yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 900.1.9/9095/SJ Tentang Dukungan dan Fasilitasi Pemerintah Daerah Dalam Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2024 membuat publik bertanya-tanya bahkan berprasangka, patut diduga ada desain yang disiapkan oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu kontestan yang menjadi peserta Pemilu 2024.
Prasangka patut diduga ini tidak datang tiba-tiba tapi berdasarkan apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, meski berlandaskan undang-undang.
Sebelum diterbitkan Surat Edaran Nomor 900.1.9/9095/SJ Tentang Dukungan dan Fasilitasi Pemerintah Daerah Dalam Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2024, ditahun 2022 ada 24 (dua puluh empat) Pejabat Gubernur dan lebih dari 200 Pejabat Bupati dan Walikota yang ditetapkan oleh Kemendagri. Jumlah pejabat Gubernur dan Bupati dan Walikota tersebut adalah kekuatan birokrasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Akan sangat menguntungkan, siapa pun calon yang direstui oleh pemerintah.
Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 900.1.9/9095/SJ Tentang Dukungan dan Fasilitasi Pemerintah Daerah Dalam Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2024 patut diduga babak baru rancang bangun desain pemenangan Pemilu oleh pemerintah untuk kemenangan kontestan tertentu. Buktinya, Ketua Komisi Pemilihan Umum mengamini isi surat edaran tersebut dengan mengizinkan ASN mendaftar sebagai penyelenggara Pemilu sebagai PPK, PPS dan KPPS. Mau dibawa Demokrasi kita sesungguhnya.