HOLOPIS.COM, JAKARTA – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja tak hanya menuai kritikan dari kalangan buruh/perkerja saja, tetapi juga kalangan pengusaha.
Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo) pun ikut mengkritisi Perppu tersebut. Mereka menyoroti soal pengupahan dan tenaga kerja outsourcing, atau dalam UU Cipta Kerja diaebut tenaga alih daya.
“Yang kami dalami adalah di pasar ketenagakerjaan ada dua isu yang sangat krusial yang berubah dari Undang-Undang Cipta kerja yang sebelumnya, yaitu menyangkut mengenai masalah pengupahan dan alih daya,” kata Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Selasa (3/1).
Menurut Hariyadi, penetapan upah minimum yang tertuang dalam Perppu tersebut akan menghambat penyerapan tenaga kerja.
Di dalam Perppu tersebut, terdapat perubahan untuk perhitungan upah minimum, dari yang awalnya didasarkan kepada inflasi atau pertumbuhan ekonomi, kini mengacu pada tiga parameter yaitu pertumbuhan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Indeks tertentu tersebut menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai tertentu dalam rentang tertentu yaitu 0,10 sampai dengan 0,30.
Sementara untuk UMP 2023 yang mengalami kenaikan maksimal 10 persen sendiri diatur dalam Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
“Apindo mengkhawatirkan bahwa penetapan UMP akan membuat kesenjangan supply dan demand tenaga kerja melebar atau dengan kata lain, menambah pengangguran,” tuturnya.
Sementara itu, lanjut Hariyadi, Apindo mencatat laju penambahan angkatan kerja baru sekitar 3 juta per tahun. sedangkan penyerapan tenaga kerjanya semakin menyusut.
Tercatat dalam 8 tahun, yang terhitung dari 2013 sampai dengan 2021, investasi naik 2-3 kali lipat. Namun untuk penyerapan tenaga kerjanya justru mengalami penyusutan sebesar 70 persen.
“Nah ini akan berlanjut terus kalau trennya tidak diubah dan cara pandangnya tidak diubah maka itu menurut kami akan merugikan masyarakat, terutama bagi angkatan kerja baru mereka akan sulit sekali mendapatkan lapangan pekerjaan yang baru. Di luar itu di sektor informal juga akan sulit untuk masuk ke sektor formal,” kata Hariyadi.
Kemudian terkait alih daya, Apindo menilai Perppu Cipta Kerja membatasi penyerapan tenaga kerja alih daya atau outsourcing.
“Nah ini menurut pandangan kami juga tidak tepat karena saya sampaikan bahwa Indonesia itu membutuhkan sangat besar lapangan kerja. Nah kalau seluruh upaya atau koridor akses ini dipersempit semuanya maka kembali lagi kita tidak punya alternatif yang cukup banyak untuk penyediaan lapangan kerja,” kata dia.
Sebagai informasi Sobat Holopis, aturan soal outsourcing diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 66 Perppu Cipta Kerja. Dalam pasal 64, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
Namun, Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang boleh dialihdayakan. Tetapi, tidak disebutkan sektor apa saja yang boleh dialihdayakan.
Lalu dalam pasal 66, Hubungan Kerja antara Perusahaan alih daya dengan Pekerja/Buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Sedangkan, pelindungan Pekerja/Buruh, Upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab Perusahaan alih daya.