HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi angkat bicara perihal larangan ekspor bahan mentah alias bijih bauksit tahun depan.
Menurutnya, larangan tersebut dalam jangka pendek akan mengurangi pendapatan negara di sektor ekspor pertambangan hingga mencapai Rp21 triliun per tahun. Namun dalam jangka panjang, justru akan menambah pendapatan negara hingga Rp62 triliun per tahun.
“Seiring dengan meningkatnya nilai tambah, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp 62 triliun per tahun,” kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Sabtu (24/12).
Fahmy mengakui, bahwa untuk mendapatan tambahan pendapatan itu memang lah tidak mudah. Masih ada berbagai tantangan dan penentangan.
Salah satu tantangan itu adalah kapasitas smelter yang masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil bijih bauksit di Indonesia.
Namun, dengan adanya larangan ekspor bijih bauksit tersebut, tentu akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh kosorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter.
“Untuk itu, pemerintah perlu untuk memberikan fiscal incentive berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter,” sarannya.
Fahmy juga meminta pemerintah untuk melawan gugatan yang dilayangkan WTO hingga keputusan final. Sebab, kata dia, persidangan gugatan tersebut membutuhkan waktu sekitar 4 tahun.
“Selama 4 tahun larangan ekspor bauksit harus tetap dilakukan hingga menghasilkan ecosystem industri bauksit dari biji bauksit dan produk hilirisasi hingga produk turunan, berupa: alumunia sebagai bahan baku industri mesin dan semiconductor. Produk turunan itu akan memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit. Maka perlu maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara,” pungkasnya.