Advertisement
Categories: Tak Berkategori

Eddy Hiariej Sebut KUHP Jalan Tengah, Tak Mungkin Senangkan Semua Pihak

Advertisement

HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Republik Indonesia, Prof Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) menyatakan bahwa KUHP tidak akan bisa memenuhi kepuasan batin semua pihak di seluruh Indonesia.

“Saya bisa memahami kan nggak mungkin KUHP bisa memuaskan semua pihak, tapi tolong bertanya pada hati nurani pada masing-masing yang kontra itu, kira-kira antara KUHP yang lama dengan KUHP yang baru itu bagusan yang mana,” kata Eddy saat berdialog di Ruang Tamu Holopis, Selasa (13/12).

Ada dinamika yang rasional mengapa KUHP tidak mungkin bisa menyenangkan dan memuaskan hati semua masyarakat di Indonesia. Eddy menyebut berdasarkan dialog di berabagai daerah, ternyata ditemukan perspektif yang berbeda-beda.

“Ketika kita melakukan dialog publik, ada perbedaan-perbedaan terhadap satu isu secara diameteral berbeda,” ujarnya.

Salah satu yang biasa ia paparkan adalah sebagai contoh adalah tentang pasal yang berkaitan dengan kohabitasi. Kohabitasi adalah hubungan suami istri yang dilakukan tanpa ada ikatan perkawinan sah.

“Ketika kita melakukan dialog publik di salah satu provinsi di Indonesia, kalau saya tidak salah di Provinsi Sulawesi Utara, mereka meminta pasal ini di-take out karena terlalu masuk ke ranah privasi. Tapi ketika kita pergi ke Sumatera Barat, pemerintah dicaci maki, dianggap pasal ini terlalu lemah. Seharusnya kohabitasi itu bukan delik aduan tapi delik biasa, siapa pun bisa melapor karena melanggar norma agama, moral, kesusilaan, apalagi Indonesia ini mayoritasnya muslim,” paparnya.

Jika melihat dari perspektif dan fakta yang ada, tentu sebuah pasal yang mengatur tentang sebuah persoalan bisa dianggap salah dan dianggap benar oleh pihak-pihak yang berbeda.

“Artinya, isu seperti ini diatur salah, nggak diatur salah,” sambungnya.

Tidak hanya saat berdialog dengan masyarakat daerah saja, pemerintah pun membuka pembahasannya kepada DPR RI. Eddy mengatakan bahwa untuk contoh pasal ini pun terjadi perdebatan pula di lingkaran parlemen, pun akhirnya bisa diambil kesepatan bersama.

“Pasal ini termasuk pasal yang kita lobi saat pembahasan 24 November. Paling tidak ada 3 fraksi yang meminta pasal ini dicabut, alasan mereka masuk akal, saya bisa menerima. Alasannya, selama ini terjadi di beberapa daerah Satpol PP melakukan razia, penggerebekan, sweeping penginapan di hotel-hotel dengan alasan penegakan Perda, jadi minta pasal ini tidak ada. Oke, tapi fraksi-fraksi (partai) Islam meminta pasal ini tetap ada dengan alasan moral value,” jelas Eddy.

Untuk itu, di KUHP yang baru itu, pemerintah sebagai pembuat Undang-Undang pun memilih jalan tengah sebagai langkah yang bijak. Dimana semua perspektif baik yang pro dan kontra setidaknya bisa dipenuhi dengan porsinya.

“Akhirnya kita win win solution, kita cari jalan tengah,” ucapnya.

Solusi terbaik untuk mengambil jalan tengah di dalam penentuan kebijakan tersebut, pemerintah pun tetap mengakomodasi agar semua keinginan bisa diserap dan ditampung dengan proporsional.

“Akhirnya dicapai kesepakatan dalam lobi, oke, pasal ini tetap ada tapi diberikan penjelasan, penjelasannya dengan diberlakukan ketentuan ini maka peraturan perundang-undangan yang bertentangan tidak berlaku,” terangnya.

Dengan demikian, pasal yang mengatur tentang kohabitasi dianggap lebih bisa mengakomodir keinginan kedua belah pihak, baik yang tidak ingin pasal itu ada ataupun pihak yang ingin pasal itu tetap ada.

Satpol PP atau aparat keamanan lain tidak boleh melakukan razia, sweeping atau penggerebekan terhadap persoalan kohabitasi. Hanya saja ketika ada tindakan tersebut, maka sifatnya adalah delik aduan. Jika pelaku memiliki status perkawinan maka suami atau istri masing-masing bisa mengadukan ke polisi. Namun jika keduanya single maka anak atau orang tua kedua belah pihak yang bisa mempidanakannya.

“Justru pasal ini memberi perlindungan. KUHP ini kan levelnya UU, kalau UU ini delik aduan yang sifatnya absolut, maka tidak boleh ada perda yang menyatakan itu sebagai delik biasa. Konsekuensinya satpol PP tidak boleh sweeping, tidak boleh gerebek, tidak boleh razia,” tegasnya.

Pasal yang mengatur kohabitasi tersebut adalah ;

Pasal 411 KUHP
(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Share
Published by
Muhammad Ibnu Idris

Recent Posts

Bahaya Kurang Tidur bagi Kesehatan

Kurang tidur adalah kondisi di mana seseorang tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup atau tidur…

11 menit ago

Warga RI Masih Doyan Belanja, Transaksi Harbolnas 2024 Tembus Rp31,2 Triliun

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto melaporkan transaksi yang berhasil dibukukan pada ajang Hari Belanja…

26 menit ago

Persebaya Pantang Remehkan Bali United

Persebaya Surabaya akan bertandang ke markas Bali United. Meski dinilai sedikit diunggulkan karena tren positif…

41 menit ago

Pria di Sidrap Kritis Usai Dibacok Teman Gegara Miras

Seorang Pria di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel) bernama Ateng (49) kritis usai dibacok rekannya…

56 menit ago

Tiga Wakil Badminton Indonesia Ini Dipastikan Absen di Malaysia Open 2025

Malaysia Open 2025 Super 1000 akan jadi turnamen pembuka rangkaian pertandingan BWF tahun depan. Menatap…

1 jam ago

Frenkie de Jong Diklaim Kemungkinan Hijrah ke Arab Saudi

Pemain andalan Barcelona Frenkie de Jong diklaim berpotensi pergi meninggalkan Blaugrana dan hijrah ke Arab…

1 jam ago