HOLOPIS.COM, JAKARTA – RKUHP telah disahkan menjadi undang – undang, dan pasal perzinaan dan kumpul kebo jadi salah satu yang masih jadi perdebatan. Aturan tersebut, ada dalam Pasal 412 dan 413 UU KUHP.
Menurut Plt Direktur Jenderal (Dirjen) Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Dhahana Putra, pasal tersebut masih jadi ancaman bagi setiap orang yang melakukan kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan/kumpul kebo) dan perzinaan.
Namun Dhahana menegaskan, ancaman yang dimaksud dalam pasal tersebut baru bisa dilakukan jika ada pihak yang mengadukan atau merupakan delik aduan.
Lalu, siapa yang berhak mengadukan ada dalam Pasal 412 Ayat (2) yang berbunyi adalah suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan serta orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Dengan kata lain, tindakan kumpul kebo sebagaimana tertuang di Pasal 412 tidak bisa dibawa ke penuntutan jika bukan suami atau istri serta orang tua dan anak yang mengadukan pelaku.
’’Hal itu menutup ruang dari masyarakat atau pihak ketiga lainnya untuk melaporkan adanya dugaan terjadinya tindak pidana tersebut (kumpul kebo, Red),’’ ujar Dhahana dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (8/12).
Dhahana menyebutkan, aturan mengenai kumpul kebo atau kohabitasi dan perzinaan dimaksudkan untuk menghormati lembaga perkawinan sebagaimana dimaksud UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
Sekaligus melindungi ruang privat masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan yang masih berlaku hingga saat ini.
Dhahana menjelaskan pengaduan dari pihak keluarga itu juga dimaksudkan agar tidak terjadi aksi main hakim sendiri yang umumnya dilakukan masyarakat ketika memergoki adanya perzinaan dan kumpul kebo di lingkungan sekitarnya.
Dhahana berharap investor dan wisatawan asing tidak perlu khawatir untuk berinvestasi dan berwisata di Indonesia kendati ada aturan tersebut.