HOLOPIS.COM, JAKARTA – Eks Menteri Keuangan (Menkeu), Muhammad Chatib Basri menyampaikan kabar yang mungkin kurang enak di telinga Sobat Holopis terkait ekonomi Indonesi menjelang pergantian tahun ini.
Melalui cuitan di akun Twitternya, Chatib menyampaikan bahwa kondisi di Indonesia saat ini masih lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya, meski dalam ancaman resesi global sekalipun.
Dia pun turut menyinggung krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 silam. Menurutnya kisah kelam di masa itu kemungkinan tidak akan terulang kembali untuk saat ini.
Risalah pertemuan FOMC yang dirilis akhir November lalu, memperkirakan bahwa kenaikan bunga ke depan mungkin tak seagresif kenaikan bunga sebelumnya.
Kemudian terkait kekhawatiran akan krisis energi yang dipicu oleh dibatasinya pasokan gas oleh Russia ke Jerman dan negara Eropa pun saat ini sedikit demi sedikit sudah dapat diredam.
“Ini pertanda baik, tapi kita tetap harus waspada. Mengapa? Untuk mengatasi inflasi di AS, dibutuhkan tingkat pengangguran yang jauh lebih besar,” kata Chatib Basri yang dikutip Holopis.com dari cuitannya, Sabtu (3/12).
Namun untuk potensi terjadi resesi di Indonesia yang belakangan ini menjadi momok menakutkan bagi seluruh negara di dunia menurut Chatib Basri, masih relatif kecil.
Meski begitu, ia tak menampik bahwa pertumbuhan ekonomi dalam negeri kemungkinan akan mengalami pelambatan.
“Probabilitas resesi di Indonesia relatif kecil. Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat, tapi bukan resesi,” tegasnya.
Lebih lanjut, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI itu menyebut bahwa perlambatan itu dimulai dari sisi ekspor terlebih dahulu, yang kemungkinan akan terjadi pada kuartal terkahir tahun 2022 atau awal tahun 2023.
“Dugaan saya, perlambatan ekspor akan mulai terjadi mulai triwulan keempat 2022 atau awal tahun 2023.” katanya.
Dia menuturkan, bahwa perlambatan tak hanya terjadi di sisi ekspor. Perlambatan juga terjadi pada sisi impor barang modal, yang mana hal itu merupakan cerminan dari kebutuhan investasi.
“Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penurunan harga komoditas dan energi mungkin lebih cepat dari perkiraan awal,” tuturnya.
Dia pun mengatakan, apabila sektor eksternal mengalami pelemahan, maka mau tidak mau pemerintah harus merubah arah kebijakan fiskal yang bertumpu kepada domestik.
“Dibutuhkan kebijakan kontra siklus. Sayangnya ruang itu terbatas,” ucap Chatib Basri.
Kemudian dari sisi moneter, Bank Indonesia juga berada dalam situasi yang dilematis karena harus menjaga inflasi dan sekaligus nilai tukar.
“Di satu sisi bila tingkat bunga dinaikkan, maka investasi akan terpukul, ekonomi melambat. Di sisi lain bila Bank Indonesia tidak menaikkan bunga, maka arus modal akan kembali pulang ke Amerika Serikat, rupiah akan melemah,” pungkasnya.