HOLOPIS.COM, JAKARTA – Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka ikut beraksi dengan adanya pemberitaan bahwa kasus tambang ilegal yang menyeret nama Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Agus Andrianto jauh lebih ngeri ketimbang kasus tewasnya Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo Cs.
Respons Gibran yang juga Walikota Solo tersebut tersebut sangat singkat.
“Hhhmmmm…,” tulis @gibran_tweet seperti dikutip Holopis.com, Jumat (2/12).
Apalagi memang, Gibran sebelumnya pun memberikan tanggapannya terkait dengan persoalan pertambangan ilegal, dimana bisnis haram tersebut ternyata diamankan pula oleh kekuatan besar. Walaupun secara langsung ia tak menyebut siapa kekuatan besar itu.
“Ya, Pak. Ini Bupati juga beberapa kali mengeluh ke saya. Bekingannya ngeri,” tulis Gibran Minggu (27/11).
Ya pak. Ini bupati juga beberapa kali mengeluh ke saya. Backingan nya ngeri https://t.co/kWnyzvdYue
— Gibran Rakabuming (@gibran_tweet) November 27, 2022
Sekedar diketahui, bahwa pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai kasus setoran uang hasil tambang ilegal yang diembuskan Ismail Bolong lebih besar daripada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Penilaian tersebut, menurut Bambang, bisa dilihat dari berbagai aspek baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Namun demikian, Bambang tidak melihat ada langkah konkret dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk turun tangan langsung menyelamatkan institusi Polri yang mendapat sorotan dengan kasus yang menyeret nama petinggi Korps Bhayangkara itu.
Menurut Bambang, langkah yang dilakukan pimpinan tertinggi Polri itu baru sekadar memberikan pernyataan dan retorika saja.
“Kapolri harus turun tangan sendiri dan menunjukkan langkah-langkahnya yang konkret, bukan statement-statement, bukan retorika-retorika, dan bukan akan-akan,” kata Bambang saat dihubungi pada Kamis (1/12).
Bambang mengatakan, kasus setoran yang kemudian disebut sebagai uang koordinasi tambang ilegal di Kalimantan Timur itu bisa menjadi preseden buruk bagi citra kepolisian apabila Kapolri tidak segera menuntaskannya.
“Kalau masih menunda-nunda dan menunggu desakan publik, ini akan makin menjadi preseden buruk bagi citra Polri yang profesional, bahwa Kepolisian tidak bergerak bila tidak didesak,” ujar Bambang.
Karena itu, Bambang menambahkan, jika Kapolri Jenderal Listyo Sigit masih bergerak lambat, maka sudah semestinya Presiden Joko Widodo atau Jokowi turun tangan guna menyelamatkan institusi Polri dari penyakit-penyakit yang ada di tubuh kepolisian.
“Presiden bukan sekadar meminta, melainkan memerintahkan Kapolri untuk secepatnya mengambil tindakan terhadap personel yang melakukan pelanggaran,” ucap Bambang.