HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, KH Zainut Tauhid Saadi mengajak seluruh akademisi khususnya 9 (sembilan) pimpinan Perguruan Tinggi (PT) untuk membangun konsep Bela Negara bagi dosen dan mahasiswanya.
Ajakan ini disampaikan Zainut Tauhid saat mewakili Menag Yaqut Cholil Qoumas pada Launching Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara (GMBBN) yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Agama Islam di Auditorium Makara Art Center, Universitas Indonesia, Jalan Margonda Raya Pondok Cina, Depok, Jawa Barat, Selasa (29/11).
“Saya mengajak seluruh Rektor yang hadir pada kesempatan kali ini untuk membangun konsep bersama untuk Bela Negara yang dapat dijadikan pegangan seluruh mahasiswa dan dosen di lingkungan masing-masing,” kata Wamenag seperti dikutip Holopis.com.
Dijelaskan Wamenag, pada tahun 2021, Menteri Agama telah menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Pertahanan tentang Pembinaan Kesadaran Bela Negara. Kerja sama ini juga melibatkan 12 Menteri lainnya, antara lain: Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
“Kerjasama ini terwujud karena Bela Negara merupakan tekad, sikap, dan perilaku serta tindakan Warga Negara, baik secara perseorangan maupun kolektif dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan Negara dari berbagai ancaman,” jelasnya.
Dalam wacana keagamaan dan politik Indonesia, lanjut Wamenag, istilah Bela Negara memiliki akar sejarah cukup kuat. Berdasarkan sumber yang terdapat di Museum Nasional dan Museum NU, bahwa wacana dan Gerakan Bela Negara diawali ketika Fatwa Resolusi Jihad Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari keluar sebagai maklumat bersama dalam membela negara.
Ada dua naskah Resolusi Jihad yang dapat dipelajari bersama. Pertama, naskah Resolusi Jihad fi Sabillah, berisi beberapa pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah pada tanggal 21-22 Oktober 1945.
Kedua, naskah “Resoloesi Moe’tamar Nahdlatoel Oelama’ ke-XVI” di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.
Dari kedua naskah ini, jelas Wamenag, ada tiga poin penting yang saya sampaikan. Pertama, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf (akil baligh).
Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, sehingga warga negara yang mati dalam peperangan adalah sahid.
Ketiga, mereka yang ikut peperangan umat dan warga negara-bangsa dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah dapat digolongkan sebagai pengkhianat.
“Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam ‘Resolusi Jihad’ tersebut mampu menjadi penyemangat Presiden Soekarno dan seluruh rakyat Indonesia untuk membela negara, Tanah Air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Wamenag.
“Inilah salah satu ajaran Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari yang meletakkan kewajiban Bela Negara sebagai bagian penting keimanan dan kecintaan terhadap agama,” sambungnya.
“Karena itu, saya menggambarkan Hadrasy Syeikh Hasyim Asy’ari sebagai peletak dasar-dasar kemerdekaan Indonesia,” tandasnya.
Hadir, Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro, Rektor Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Surabaya, UNM, Unisma, Unwahas, Universitas Pendidikan Islam, Universitas Islam Nusantara, dan Universitas Garut. Hadir juga, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, dan Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan.