HOLOPIS.COM, CIANJUR – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengklaim intensitas gempa susulan (aftershock) yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat terus melandai.

BMKG mencatat, gempa susulan hingga Rabu hari ini, pukul 08.00 WIB pagi, ada sebanyak 162 gempa susulan dengan magnitudo mulai 1,2 hingga 4.2, setelah gempa bermagnitudo 5,6 terjadi pada Senin (21/11), pukul 13.21 WIB..

InsyaAllah, dalam kurun waku empat hari kedepan, gempa-gempa susulan tersebut sudah reda dan stabil,” ungkap Dwikorita dalam keterangan pers yang dikutip Holopis.com, Rabu (23/11).

Dwikorita mengatakan, bahwa gempa-gempa susulan yang terjadi sebenarnya sebagian besar tidak dirasakan. Gempa-gempa itu hanya bisa diketahui BMKG dengan bantuan alat.

Lebih lanjut, saat memasuki puncak musim penghujan seperti sekarang ini, BMKG mengimbau kepada pemerintah daerah dan juga masyarakat, khususnya yang berada di Cianjur untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya bencana alam ikutan, seperti longsor dan banjir bandang.

“Saat ini curah hujan sedang meningkat menuju puncaknya di bulan Desember hingga Januari nanti, jadi harus diwaspadai kemungkinan terjadinya bencana ikutan usai gempa kemarin,” tutur dia.

Dia pun mengimbau pemda dan masyarakat untuk membersihkan material lereng yang runtuh akibat gempa, seperti tanah, pohon kerikil dan lainnya agar tidak terbawa oleh air, sehingga bisa menyebabkan banjir bandang

“Hal ini pernah terjadi saat gempa Palu dan Pasaman Barat,” tambahnya.

Dwikorita juga mengimbau saat proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan semestinya menggunakan struktur bangunan yang tahan terhadap guncangan gempa.

Menurutnya, banyaknya korban meninggal dan signifikannya kerusakan yang terjadi pada saat gempa tektonik bermagnitudo 5,6 selain akibat gempa dangkal juga akibat struktur bangunan di wilayah terdampak tidak memenuhi standar tahan gempa.

“Mayoritas bangunan yang terdampak karena dibangun tanpa mengindahkan struktur aman gempa yang menggunakan besi tulangan dengan semen standar. Akibatnya, bangunan tersebut tidak mampu menahan guncangan gempa,” paparnya.

“Perlu dipahami, bahwa banyaknya korban jiwa dan luka-luka dalam gempa bumi Cianjur bukan diakibatkan guncangan gempa bumi, melainkan karena tertimpa bangunan yang tidak sesuai dengan struktur tahan gempa bumi,” tambah dia.

Kemudian bagi masyarakat yang berada di daerah lereng-lereng dan perbukitan, relokasi bagi mereka harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah. Pasalnya, gempa di Cianjur merupakan gempa yang berulang setiap 20 tahunan dan kemungkinan dapat terjadi kembali. Hal itu berdasarkan hasil analisa yang dilakukan oleh BMKG.

Selain itu, topografi di wilayah lereng dan perbukitan tersebut tidak stabil dengan kondisi tanah yang rapuh atau lunak dan sering jenuh air akibat curah hujan yang cukup tinggi.

Untuk saat ini, kata Dwikorita, pihaknya tengah melakukan survei untuk mengidentifikasi wilayah mana saja yang aman terhadap guncangan gempa. Data tersebut kemudian dipadukan dengan data terkait wilayah rawan gempa dan longsor yang dimiliki oleh PVMVG.

“Kepada masyarakat yang ada di pengungsian maupun di rumah, kami mengimbau untuk tetap tenang. Jangan percaya dengan kabar, berita, maupun informasi yang tidak jelas asal muasalnya yang justru menambah kecemasan,” pungkasnya.

Dia pun memastikan, kondisi di Cianjur pasca gempa besar yang menewaskan ratusan orang itu kini telah berangsur-angsur stabil.