HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menko Polhukam, Mahfud MD mengklaim, ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak bisa dilanjutkan ke proses persidangan.
Padahal, di satu sisi Mahfud mengungkapkan bahwa dirinya ditekan oleh Presiden Jokowi untuk memajukan seluruh perkara yang puluhan tahun berjalan di Komnas HAM tersebut dibawa ke persidangan.
Namun, harapan Jokowi pun harus tertahan karena Jaksa Agung menolak untuk membawa seluruh permasalahan tersebut dibawa ke pengadilan.
“Jaksa Agung nggak mau. Ya kalau saya bawa semua ke pengadilan, dan sesuatu yang tidak ada buktinya berarti tidak profesional. Malu kami nanti,” kata Mahfud dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Rabu (2/11).
Kesulitan yang dialami, sebagai contoh kasus adalah kekerasan tahun 1965 yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, Mahfud berdalih tidak lagi memiliki bukti atas kejadian tersebut.
“Dulu pada saat mau dibawa ke pengadilan itu tidak bisa, diserahkan ke Jaksa Agung tidak bisa, karena tidak ada bukti,” ungkapnya.
Contoh kasus lainnya yakni kasus kekerasan di Timor Timur ke pengadilan yang lagi-lagi minim barang bukti untuk ditunjukan di persidangan.
“38 orang itu kita bawa ke pengadilan setelah izin Komnas HAM, dan 38 orang itu bebas semua karena buktinya tidak ada,” bebernya.
Oleh karena itulah, keberadaan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) diharapkan bisa bersinergi dengan Komnas HAM dalam mencocokkan bukti-bukti pelanggaran HAM.
PPHAM, lanjut Mahfud, akan berfokus pada pencarian korban bukan pelaku yang menjadi tugas Komnas HAM.
“Kalau pelakunya biar Komnas HAM saja yang urus. Biar DPR yang memutuskan. Biar Jaksa Agung yang bicara ke DPR. Karena kita cari pelakunya sulit sekali untuk penyelesaian ke pengadilan,” pungkasnya.