HOLOPIS.COM, JAKARTA – Tidak jarang masyarakat Indonesia mengenal ‘Marhaenisme’ dari slogan salah satu partai politik. Nyatanya, Marhaenisme bukalah miliki salah satu partai, tetapi milik bangsa Indonesia.
Asal usul dari munculnya Marhaenisme selalu menjadi citra positif dari sosok Soekarno sebagai seorang pemimpin. Ia berhasil, membangun ide dan narasi melalui konteks sosiologi masyarakat Indonesia yang dimanifestasikan menjadi sebuah nilai kebangsaan.
Mengenal Ideologi Marhaenisme, dimulai dengan mengetahui sosok pencetusnya yakni Soekarno. Dalam salah satu pernyataannya, ia mengaku ideologi ini sudah hadir di benaknya sejak ia remaja. Namun, saat itu atas keterbatasannya, ia belum mampu membangun dan mewujudkan ide tersebut.
Barulah saat ia menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool Bandung (ITB), pemikiran tentang ide-ide besarnya mulai ia tuturkan. Terkhusus saat ia melakukan perjalanan di daerah Bandung Barat sekitar tahun 1927.
Soekarno bertemu dengan sosok petani bernama Marhaen yang memiliki lahan dan alat produksi, namun kehidupannya tetap dalam garis kemiskinan karena terjerat oleh sistem kolonialisme dan imperialisme. Dari situlah, awal lahirnya Marhaenisme.
Istilah Marhaen pertama kali digaungkan Soekarno saat pleno pembelaannya yang berjudul ‘Indonesia Menggugat’ di hadapan raad van indie di Bandung tahun 1930. Bagi Soekarno, Marhaenisme mengandung ilmu perjuangan revolusioner untuk menggalangkan persatuan kaum Marhaen.
Yuk simak informasi Sejarah Ideologi Marhaenisme dan perkembangannya yang telah di rangkum Holopis.com
Mengenal Konsep Dasar Marhaenisme
Marhaenisme dikenalkan Soekarno saat masa pergerakan dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang dikuasai oleh kolonial baik ekonomi hingga politik, dimana saat itu Soekarno melihat bahwa masyarakat Indonesia hanya dijadikan pekerja upahan, bahkan para petani Indonesia yang memiliki lahan dan alat produksi pun tidak mampu bertahan dalam keterbatasan tersebut.
Sebagai sebuah ideologi, Marhaenisme menjadi antitesis rezim kolonial yang kapitalistis, dimana sebagian besar alat-alat produksi seperti sumber daya alam dan modal, dikuasai oleh penguasa dan pemodal besar. Soekarno menganggap Marhaen mewakili mayoritas rakyat kecil Indonesia yang pada umumnya hidup termarjinalkan.