A
tas nama diri sendiri dan atas nama sepakbola, izinkan saya mengucapkan rasa duka yang mendalam atas tragedi Kanjuruhan. Dari lubuk hati yang dalam, saya berdoa semoga seluruh saudara kita yang wafat, ditempatkan oleh Allah SWT di tempat terbaik, aamiin ya Rabb.
Jujur, saya masih gemetar hingga saat ini. Saya tak akan pernah melupakan kejadian itu. Selama 40 tahun saya aktif di dalam dunia persepakbolaan, baik di dalam maupun luar negeri, kisah kelam Kanjuruhan sungguh tak pernah kita harapkan.
Meski demikian, kita harus tetap percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia selalu atas izin Allah SWT. Seperti tertulis dalam QS Al-An’am: 59: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
Maaf, saya sengaja mengetengahkan surah Al- An’am agar kita tidak merasa duka berlebihan dan marah berlebihan pula. Tapi, bukan juga saya menafikan korban yang berpulang, apalagi dalam jumlah sangat banyak. Bukan juga ingin mengabaikan siapa yang harus bertanggung jawab. Jujur, saya ingin hukum positif berlaku dan saya ingin hukum sepakbola (statuta FIFA dan PSSI) berjalan.
Sebagai orang yang sudah mengalami banyak kejadian sepakbola, tragedi kanjuruhan sungguh-sungguh sangat memilukan. Menyedihkan, dan menyakitkan. Meski demikian, kita pun harus bisa melihat semua itu dengan posisi yang relatif berimbang.
Ikuti Aturan
Belakangan ini, banyak yang mendorong untuk dilakukan KLB. Ada kemarahan yang menyembul di sana. Sekali lagi, sungguh, saya sangat memahami. Sebagai mantan praktisi sepakbola nasional, saya ikut melahirkan Arseto bersama Mas Sigit putra Pak Harto, dan sebagai pengurus PSSI, saya mengalami berbagai momen krusial di organisasi sepakbola yang usianya jauh lebih tua dari republik, saya paham betul situasinya.
Saya menghargai pandangan tersebut. Tapi, maaf, Ali Sadikin yang di KLB 1980an awal, tidak membuat PSSI menjadi lebih baik. Nurdin Halid digempur, didemo selama delapan bulan, juga tidak membuat PSSI menjadi baik. Mengapa? Karena dasar penggulingan itu emosi yang berlebih.
Nah, sebagai mantan anggota Komite Etika FIFA, saya justru ingin kita melihat semua persoalan dengan jernih. Sebagai mantan anggota komite etik, saya juga ingin mengajak kita semua untuk taat aturan.
Ada hukum positif. Kejarlah para pembuat masalah. Saat ini ada enam tersangka, apakah sudah cukup atau masih akan bertambah? Terus pantau itu.
Ada hukum sepakbola yakni statuta FIFA dan PSSI. Di sana diatur cara bagaimana mekanisme KLB. Taati itu dengan baik dan simpan emosi serta kemarahan di dalam saku.
Ratusan korban Kanjuruhan itu harus kita hormati bukan kita jadikan yang berbeda. Karena, jangankan 134, satu jiwa melayang tak akan sebanding ditukar dengan jabatan Ketum PSSI, jabatan esko. Satu jiwa terlalu besar untuk ditukar dengan apa pun.
Saya ingin mengajak kita semua menghargai dan menghormati para korban dengan melangkah di jalur yang benar. Jika kira melangkah dengan penuh emosi dan kemarahan, belum tentu juga menghasilkan sesuatu yang terbaik.
Datangnya Presiden FIFA, lalu melakukan Fun Football menambah amarah. Jangan begitu. FIFA itu punya prinsip, apa saja boleh terjadi, tapi sepakbola tidak boleh mati. Bermainnya Gianni Infantino ingin menunjukkan hal itu. Ini daya yakin bukan karena beliau tidak menghargai korban, tapi lebih pada ingin tetap sepakbola itu ada.
Lalu, jika kita marah dan ada yang berkomentar seperti mengusir FIFA, saya ingin bertanya, bisakah sepakbola kita hidup tanpa FIFA? Jangan lupa, pemilik sepakbola itu FIFA, hak patennya ada pada organisasi yang dilahirkan di Prancis dan bermarkas di Swiss.
Sekali lagi, jika FIFA tidak menggap para pengurus PSSI itu untuk mundur, ya begitu fakta yang ada. Sekali lagi, bukan berarti kita ingin melupakan korban dan penelusuran kasusnya. Semua harus tetap berada dalam koridor hukum sepakbola.
Ingat, kita pernah dihukum FIFA karena nafsu sekelompok orang lalu melahirkan PSSI tandingan. Melahirkan kompetisi tandingan. Jangan sampai para sparatis itu kembali menunggangi tragedi ini untuk mencapai tujuan mereka merebut kebebaran.
Saya juga tetap percaya, sekuat apa pun kesalahan, dia pasti kalah oleh kebebaran.
Dalam kepiluan, saya tetap berdoa untuk para korban yang wafat dan yang saat ini masih terbujur di rumah sakit. Kemarahan sebesar apa pun tidak akan mengembalikan mereka yang sudah mengorbankan segalanya dalam tragedi 1 Oktober 2022 itu.
Sebaliknya, saya ingin kita semua melihat apakah langkah nyata Atema dan PSSI pada para korban. Sudahkah mereka mendatangi semua? Lalu, apakah yang sudah mereka berikan. Menurut saya itu jauh lebih berarti bagi para keluarga korban.
Jadi, saya mohon maaf jika tulisan ini mengecewakan banyak pihak. Semua saya lakukan jarena saya cinta pada sepakbola.
Amico di calcio fino alla fine della mia vita .
Sahabat sepakbola sampai akhir hayatku…
Semoga bermanfaat……