HOLOPIS.COM, MALANG – Kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10) terus menjadi sorotan. Salah satu penyebab utamanya diduga karena penggunaan gas air mata oleh pihak kepolisian. Sebagaimana diketahui, sebanyak 180 lebih korban tewas dalam insiden ini.
Tembakan gas air mata membuat massa panik dan ricuh. Supporter-pun berlarian sambil berdesak-desakan untuk mencari jalan keluar.
Lalu, apa itu gas air mata? Berikut beberapa fakta yang perlu diketahui tentang gas air mata.
Mengutip Healthline, gas air mata merupakan bubuk bertekanan yang menciptakan kabut saat ditembakkan.
1. Berbentuk bahan kimia
Guru Besar FKUI, Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa ada beberapa bahan kimia yang biasa digunakan dalam gas air mata. Bahan-bahan kimia tersebut diantaranya chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA), dan dibenzoxazepine (CR). Chlorobenzylidenemalononitrile menjadi bentuk bahan kimia yang paling umum digunakan pada gas air mata.
2. Mengganggu saluran napas
Siapa pun yang berada di sekitar area gas air mata ditembakkan bisa menghirupnya. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap saluran napas.
“Gejalanya bisa berupa dada berat, batuk, tenggorokan tercekik, hingga sesak napas,” ujar Yoga, Minggu (2/10).
Pada kondisi tertentu, paparan gas air mata bisa memicu terjadinya kondisi gawat napas atau respiratory distress. Kondisi bisa semakin parah jika paparan gas air mata mengenai orang dengan penyakit asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Terparah, paparan bisa menimbulkan serangan sesak napas akut yang berisiko memicu gagal napas.
“Selain di saluran napas, gas air mata juga bisa memicu rasa terbakar di mata, mulut, dan hidung,” ujar Yoga.
3. Dampaknya bisa kronis
Sebagian besar kasus paparan gas air mata umumnya berlangsung akut atau cepat. Artinya, seseorang akan langsung mengeluarkan gejala sesaat setelah terpapar gas air mata.
Namun, menurut Yoga, paparan gas air mata juga bisa menyebabkan dampak kronis atau berkepanjangan.
“Pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronis berkepanjangan,” ujar Yoga.
Kondisi di atas, menurut Yoga, bisa terjadi jika paparan berlangsung panjang atau dalam dosis tinggi. Paparan yang terjadi di ruangan tertutup juga bisa memberikan dampak kronis.