HOLOPIS.COM, JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) dengan tegas tegas menolak rencana pemerintah terkait pengembangan benih Genetic Modified Organism (GMO) di Indonesia dengan dalih apapun, termasuk peningkatan produktivitas sekalipun.
“SPI menolak dengan tegas rencana pemerintah untuk mengembangkan benih kedelai GMO dengan dalih peningkatan produktivitas,” kata Kepala Pusat Perbenihan Nasional (PPN) Dewan Pengurus Pusat SPI, Kusnan dalam keterangan tertulis yang diterima Holopis.com, Selasa (27/9).
Menurutnya, pengembangan GMO tersebut menjadi ancaman ancaman bagi keanekaragaman hayati, seperti benih kedelai lokal yang ada di Indonesia.
Selain itu, penggunaan GMO juga dinilai menimbulkan efek negatif terhadap kemandirian sektor pertanian di Tanah Air.
“Penggunaan GMO hanya akan membuat petani tidak berdaulat akan benih dan semakin tergantung pada korporasi”, tegasnya.
Kusnan menyebut, upaya pemerintah mendorong penggunaan bibit GMO bertentangan dengan desain pembangunan pertanian Indonesia ke depannya, dimana pemerintah memiliki program 1.000 Desa Berdaulat Benih dan 1.000 Desa Organik.
“Kami ingin mengingatkan kembali janji-janji yang sudah diusung oleh pemerintah terkait kedaulatan pangan di Indonesia, yakni program 1.000 Desa Berdaulat Benih dan 1.000 Desa Organik,” tuturnya.
“Logikanya bagaimana mungkin kemandirian benih bisa tercapai kalau benih GMO perusahaan terus didorong. Ini adalah kemandirian palsu karena petani ditempatkan sebagai konsumen benih,” imbuhnya.
Sebagai informasi, Pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya mendorong pendekatan ketahanan pangan untuk mengatasi persoalan pangan dalam negeri dan ancaman krisis pangan yang mengintai.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghadapi krisis pangan tersebut dengan terus mendorong program seperti Food Estate sampai dengan pengembangan GMO di Indonesia.
Namun, hasil dari langkah tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan pemerintah. Dimana SPI menyoroti program Food Estate yang justru membuat masalah-masalah baru, yakni konflik agraria.
Bahkan lebih parahnya lagi, dampak dari program-program tersebut menimbulkan ketergantungan petani terhadap korporasi, seperti benih, pupuk, sampai ke pemasarannya.